06. Bad Habits

11 3 33
                                    

"Bentar, kak." Ucap Naya begitu dia turun dari motor Dirga dan berusaha membuka pengait helm di lehernya.

"Bisa gak?"

"Ini lagi berusaha!"

Dirga mendengus, "Kalau gak bisa bilang, biar gue yang bukain. Sini,"

Belum sempat Naya menolak, Dirga sudah lebih dulu menepis pelan tangannya dan memegang pengait helm tersebut. Hanya dengan waktu 3 detik, pengait helm itu berhasil dibuka oleh Dirga.

Naya masih diam saja, hari ini jantung benar-benar tidak sehat.

"Udah. Lo hati-hati ya, kalau udah sampe rumah jangan lupa kasih tau gue."

"Iya, m-makasih." Ucap Naya, terdengar agak canggung.

Dirga mengangguk sekali sebagai respon.

"Gue pulang dulu, kak. Lo juga, hati-hati."

"Iya."

Naya tersenyum hingga kedua matanya hampir menghilang, kemudian memegangi kedua tali tasnya dan berbalik badan. Gadis itu hendak melangkahkan kakinya untuk pulang, namun tidak jadi ketika Dirga tiba-tiba memanggil namanya.

"Naya,"

"Iya?" Naya berbalik badan lagi.

Tanpa aba-aba, Dirga langsung menyentil dahinya pelan. Hal itu membuat Naya terkejut dan refleks menutup matanya karena takut jari Dirga malah mencolok matanya.

Dirga terkekeh, "Makasih udah nemenin gue makan siang."

Setelah mengatakan itu, Dirga kembali memasang helmnya dan menyalakan motor. Dia menoleh pada Naya sebentar dan berucap, "Besok pagi, gue tunggu di sini." Kemudian melajukan motornya, meninggalkan Naya yang belum sempat menjawab apapun.

Sedangkan Naya, gadis itu masih terdiam di tempatnya sambil memegangi dahinya yang sempat di sentil Dirga.

Otaknya ngeblank seketika.

***

"Anak pembangkang!!"

Naya baru saja memasuki rumah saat suara berat Ayah menggelegar di ruang tamu. Saat ini Ayahnya sedang duduk di sofa di ruang tamu, menatapnya dengan tatapan penuh amarah. Di sebelahnya, ada seorang perempuan berwajah cantik juga menatapnya datar.

Ah, pacar Ayahnya lagi.

Naya ingin muntah saat melihat wajahnya. Sungguh.

Dengan malas, Naya mengalihkan pandangan dari perempuan itu dan langsung melangkah menuju tangga. Namun Ayahnya meneriakinya, memintanya untuk berhenti sebelum kakinya menginjak anak tangga.

Ayahnya bangkit dari duduk, kemudian mendekati Naya. "Ayah mau bicara dulu sama kamu!" Tegasnya.

Naya berbalik badan, dan menatap mata sangat Ayah. "Kalau Ayah cuma mau marahin aku karena aku pulang terlambat, aku minta maaf dan tolong biarin aku istirahat dulu. Aku capek."

"Capek abis keluyuran sama cowok?! Iya?! Dapet uang berapa kamu sekali jalan sama dia?!" Ayahnya membentak.

Naya mengerutkan kening, tidak menyangka jika Ayahnya akan mengira dia melakukan pekerjaan yang pacarnya sendiri lakukan.

"Apa sih, Yah?! Naya capek abis pulang sekolah! Biarin Naya istirahat dulu sebentar, abis itu terserah Ayah mau marahin Naya sampai kuping Naya berdarah pun Naya gak peduli!"

"Berani kamu bentak Ayah kamu sendiri?!"

"Ayah juga bentak aku, kenapa aku nggak?"

"Anak kurang ajar!"

Wajah Naya langsung berpaling begitu satu tamparan kuat mendarat di pipi kirinya, saking kuatnya hingga meninggalkan bekas merah di pipinya.

"Kenapa kamu susah banget dengerin Ayah?! Hah?! Mau jadi anak durhaka kamu?! Omongan Ayah di jawab terus!! Kamu pikir begitu gak dosa?!!" Ayahnya berteriak di hadapannya.

Naya tidak menjawab, gadis itu masih terkejut karena Ayah tiba-tiba menamparnya dengan sangat kuat hingga pipinya mati rasa. Namun jauh di dalam hatinya, perkataan Ayahnya telah menggores luka yang baru perlahan-lahan.

"Mau kamu jadi orang yang gak berguna sampai mati kayak bunda kamu?!"

"LO JANGAN BAWA-BAWA NYOKAP GUE BANGSAT!!!"

Kali ini Naya berteriak lebih nyaring dari Ayahnya, bahkan Naya berani menatap nyalang pada pria berusia hampir setengah abad itu. Emosinya membuncah ketika sang Ayah mulai membawa-bawa ibunya, apalagi sampai menjelek-jelekkan ibunya seperti itu.

Mungkin jika Naya tidak berpikir panjang, saat itu dia pasti sudah memukul wajah Ayahnya sekuat yang Ia bisa.

Ayahnya jelas kaget, pria itu sempat terdiam beberapa saat dengan kedua mata yang melebar. "Keterlaluan kamu ngatain Ayah begitu, Naya!!" Katanya, kali ini kedua pundaknya di pegangi oleh perempuan berwajah cantik tersebut.

Perempuan itu tampak sama kagetnya saat mendengar teriakan Naya, namun kecemasan lebih mendominasi dirinya sekarang. "Sabar, Mas..." Bisiknya pada Ayah Naya, yang mana tidak di gubris sama sekali.

"Ayah yang keterlaluan!! Bunda bukan orang yang gak berguna!! Bunda manusia yang punya hati!! Gak kayak Ayah!!" Naya balas berteriak, tidak peduli dengan Ayahnya yang kini menatapnya marah.

"Naya!!"

Tanpa memperdulikan Ayahnya yang memanggil namanya berkali-kali, Naya langsung berlari menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarnya. Gadis itu menangis sejadi-jadinya setelah Ia mengunci pintu dan terduduk lemas di atas lantai.

Di tengah tangisannya, Naya menatap sebuah foto yang ada di atas nakas. Di dalam foto itu, ada dirinya dan seorang wanita dengan senyum teduh, senyuman yang menjadi senyum favorit Naya di dunia ini. Tetapi untuk sekarang, hati Naya terasa di hujam ribuan pisau saat melihat senyum di foto itu.

Lalu gadis itu meraung sambil memukul-mukul dadanya yang sesak hingga dia sulit bernafas dengan normal, tangisannya terdengar begitu sakit jika manusia yang mempunyai hati mendengarnya.

"Maafin Naya, bunda... Tapi Naya gak kuat..." Bisiknya, sebisa mungkin menahan rasa sakit di dadanya saat dia mengatakan kalimat itu.

"Ayah selalu kasar sama Naya... Ayah selalu dengerin perempuan itu di banding Naya... Ayah udah gak mau Naya ada di hidup dia, bunda..."

Setelah mengatakan itu dengan susah payah, Naya berusaha berdiri untuk berjalan ke meja belajarnya. Gadis itu mengambil benda benda yang dia anggap selalu bisa menenangkan dirinya disaat seperti ini, cutter.

Dengan tangisan yang masih berlanjut, Naya mulai melakukan kebiasaan buruknya... Lagi.

Untuk saat ini, Naya tidak peduli dengan perkataan Dirga saat pertama kali mereka bertemu.

"Naya mau ikut bunda! Naya mau bahagia sama bunda!" Katanya, berkali-kali sambil menggoreskan cutter pada lengannya.

Darah dari lengannya mengalir dan menetes di atas lantai, untuk sekarang Naya benar-benar tidak merasakan sakit sama sekali. Gadis itu berkali-kali menggores lengannya, walaupun dia bilang ingin mati, Naya tidak akan pernah menggores nadinya.

"Naya capek!!"

Setelah meneriakkan itu, ponsel Naya tiba-tiba berdering. Awalnya Naya tidak peduli, namun saat panggilan kedua masuk dan Naya melihat nama kontaknya, gadis itu langsung melemparkan cutter di tangannya ke sembarang arah.

Itu Dirga.

Dengan tangan yang berlumuran darah, Naya meraih ponselnya dan menerima panggilan itu.

"Berhenti ngelukain diri lo sendiri, Naya!!"
   
      
    
             
---

tiya's note:
sorry kalau gak nge-feel yaw
eheq

babay~

Selesai ditulis pada
20 September 2021
02:52
🍁

Kak DirgaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang