Dua setengah tahun lalu, Tyas R. Tedjaseputra berjalan menuju ruangan kerja Papa-nya dengan menggandeng Rimowa mercury check in-L di tangannya. Koper besar yang sengaja ia bawa untuk diperlihatkan kepada Papa nya berhasil membuat pria tua itu berkilat marah. Rencanya berhasil. Tyas tidak akan mundur kali ini, sekalipun Papa nya akan memarahinya habis-habisan.
"Don't be so ridiculous, Rajni. You're not going to anywhere, you're going to be lawyers soon." Ujar Tedjaseputra dengan tegas kepada anak semata wayangnya.
"Well, aku bisa. Papa tidak lihat aku membawa koper?" Tyas merutuki dirinya dalam hati karena suara wanita itu terdengar sangat bergetar saat menjawab Papa nya.
"How pity, suara kamu lebih terdengar seperti seseorang yang akan menangis" Gumam Tedjaseputra dengan sinis.
Tyas menahan nafas ketika pandangannya bertemu dengan kedua mata gelap papa nya. Ia bisa merasakan telapak tangannya yang basah karena keringat, tidak, melainkan karena ia sangat gugup sekarang. Keberaniannya hanya sebatas memandangi converse nya yang sudah lusuh. Menatap Tedjaseputra bukan bagian dari rencananya hari ini.
"Apa yang sebenarnya kamu pikirkan ketika datang ke ruangan ini sambil menyeret koper besar itu?" Suara Tedjaseputra terdengar sangat menyeramkan di telinga Tyas.
Dengan sisa keberanian yang ia punya, Tyas menjawab "Aku tidak akan menjadi pengacara, Papa."
"Oh?" Tedjaseputra seolah-olah tampak terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar walaupun ia sendiri sudah menebak maksud dari kedatangan Tyas ke ruangannya. "Jadi kamu bersusah payah menyeret koper besar itu karena tidak mau menjadi seorang pengacara, ya?" Tedjaseputra meletakkan kacamata yang ia pakai dan manik matanya terlihat semakin menusuk ke arah Tyas yang berdiri tidak jauh dari meja nya.
"Sayang sekali Rajni, mau atau tidak kamu akan tetap bekerja sebagai seorang pengacara di firma hukum Papa. Kamu tidak punya hak untuk menentukan ingin jadi apa, karena Papa tidak memberikanmu pilihan. Kita tidak sedang bernegosiasi di sini."
Tyas mengepalkan kedua tangannya menahan emosi. Terlepas dari bagaimana takutnya wanita itu berhadapan dengan papa nya, ia sangat marah karena pria tua itu selalu memaksakan kehendaknya sendiri. Lalu, pintu terbuka dan mama nya muncul begitu saja dengan masih mengenakan setelan formal pants and blazer suits nya.
"Apa-apaan ini, Rajni?" Kini, bertambah satu orang yang harus dihadapi Tyas, Mama nya.
"Aku akan mengatakannya sekali lagi. Aku tidak mau menjadi pengacara. Papa dan Mama tidak punya hak untuk menentukan masa depanku. Aku sudah dewasa dan bisa memutuskan sendiri mana yang terbaik untuk aku kedepannya. Ma? Pa?" Wanita itu mengumpulkan seluruh keberanian untuk mengatakan itu di depan orangtuanya. Ia menggenggam handle kopernya dengan sangat erat karena begitu takut dengan respon apa yang akan ia terima.
"Rajni!" Mamanya sontak berteriak mendengar pernyataan Tyas. "Seems you are missing something out here, let me remind you. Kita mengelola firma hukum terbesar di negara ini. Everyone knows our law firm as a part of Lex Loyrette global network, you know Jasep law firms leading a network both domestic and foreign. We have a big role in assisting counsel around the world, Rajni. Don't you dare think of working other than becoming a lawyer? Mama tidak melahirkanmu untuk merusak background keluarga kita. Kamu dengar mama, Rajni?"
"Jane, calm down." Itu suara Papa nya yang berusaha menenangkan Mama. "Now you know, you have no choice, Rajni. Dari awal Papa dan Mama tidak pernah memberikan kamu pilihan. Kamu terlahir untuk meneruskan pekerjaan kami. But if you need another option, then here's. Jadi pengacara dan penerus Jasep law firm, atau kamu bisa menyeret Rimowa mu keluar dari rumahku untuk selamanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day When Nashville Rain
ChickLitSeperti apa rasanya mencintai laki-laki yang tidak mencintai kamu? Aku, Tyas R. Tedjaseputra, terpaksa menjalin hubungan sandiwara dengan pria paling sibuk.