Pria itu benar-benar membawa dirinya pergi dan Tyas merasa kesal karena tidak mampu menolak. Lebih menyebalkan lagi ketika ia harus berada di dalam satu mobil, duduk di samping pria itu yang memiliki wangi tubuh leather yang memabukkan. Maksudnya, Tyas benar-benar mabuk.
"Bhian, aku butuh ke toilet!" Seru Tyas yang sudah tidak tahan memuntahkan isi perutnya.
Bhian menoleh dan menatap wanita itu dengan bingung, "Kamu gila? Tidak ada toilet terlebih di tengah kemacetan seperti ini."
Wanita itu menelan salivanya, Mati aku.
"Tapi aku butuh ke toilet sekarang juga!" Tyas menatap Bhian dengan wajah pias.
"Tidak bisa."
Tyas sadar betul jika ia memang tidak bisa ke toilet. Disamping nya hanya ada gedung-gedung pencakar langit dan yang lebih parah adalah dia berada di tengah-tengah kemacetan. Sial! "Aku- aku, aku mau muntah," Suara Tyas terdengar tidak bertenaga.
"Apa?"
"Aku mau muntah, Bhian." Kata Tyas mengulangi perkataannya.
"Tidak bisa. Jangan muntah di sini." Tolak Bhian dengan Tegas melirik ke arah wanita itu.
"Kalau begitu kamu harus turun dari mobil!" Tyas menutup hidung dan mulutnya karena merasa sangat mual. Ia tidak yakin bisa bertahan lebih lama dari pada ini.
Bhian melirik wanita itu dengan bingung, "Kamu mengusir saya dari mobil saya sendiri?"
"Kamu bau, Bhian. Kamu harus keluar dari mobil atau aku benar-benar muntah di dalam mobil kamu,"
"...."
"Bhian, aku tidak mungkin turun dari mobil dan muntah di jalanan. Orang-orang akan menatap aku?"
Suara mobil tertutup ketika akhirnya Bhian mengalah dan turun dari mobil tanpa sepatah kata pun. Tyas melepas tangannya yang menutupi hidung dan mulutnya kemudian menghirup udara sebanyak yang ia bisa. "Mbak, apa saya sebaiknya mematikan AC dan membuka kaca mobil?" Ucap Adam yang hanya diam sedari tadi mendengar percakapan dua orang dibelakangnya. Tyas benar-benar terlihat pucat.
"Iya, Adam. Tolong, ya." Tyas mengangguk lemah.
Mobil tidak bergerak sama sekali, keadaan sore ini benar-benar sangat macet. Suara klakson memenuhi indra pendengaran Tyas dan aksi beberapa motor yang mencoba menerobos antrian mobil di depannya menjadi pemandangan sore itu di kota Surabaya. Sudah sekitar dua puluh menit mobil tidak maju sedikit pun, kata Adam ada kecelakaan beruntun di depan sana sehingga menyebabkan kemacetan seperti sekarang.
Sedangkan di dalam mobil masih tercium bau wangi leather milik Bhian yang mengudara walaupun tidak sekuat tadi ketika pria itu berada di sampingnya. Tyas menoleh ke samping melihat Bhian yang terlihat santai berdiri di dekat kaca mobil, tetapi ditemani oleh beberapa ajudannya yang ikut turun untuk memayungi pria itu. Tyas sempat mendengar Adam berkomunikasi lewat earpiece dengan ajudan lainnya yang menaiki mobil berbeda sebelum Tyas memaksa Bhian untuk turun dari mobilnya sendiri. Bagus, kamu sangat berani mengusir Mas Menteri itu dari mobilnya sendiri.
"Mbak Tyas, sepertinya mobil sudah akan jalan," Kata Adam melirik Tyas dari kaca tengah mobil.
Bersamaan dengan itu, Bhian muncul dari jendela mobil dengan raut wajah yang tidak bisa di baca oleh Tyas.
"Apa saya sudah boleh masuk?"
Tyas mengangguk cepat diselingi senyum canggung. Dengan tidak enak hati, ia menjawab, "Ya, tentu saja kamu bisa masuk karena Ini mobil kamu. Aku sudah tidak merasa mual."
"Benar. Ini mobil saya," Bhian membuka pintu mobil.
"...."
"—seseorang baru saja mengusir saya dari mobil saya sendiri," Pria itu masuk ke dalam mobil.
"...."
"—karena mengatakan saya bau," Bhian mengambil duduknya di samping Tyas setelah menutup pintu mobil dengan rapat.
"...."
"—dan sekarang saya meminta izin kepada orang lain untuk masuk ke dalam mobil yang jelas-jelas milik saya. Bagaimana menurut kamu, Adam? Sangat lucu, kan?" Bhian mendengus dan Adam langsung saja terbatuk.
Tyas menelan salivanya lagi. Bhian—pria itu terlihat sangat menyeramkan karena ia mengatakan semua itu tanpa ekspresi di wajahnya.
"Maaf, aku tidak tahan dengan bau parfum kamu," Kata Tyas penuh penyesalan.
"—saya berdiri hampir tiga puluh menit di bawah matahari,"
Tapi kamu tidak kepanasan, para ajudan kamu yang sudah mirip anjing penjaga itu memayungi kamu! Dasar pria licik. "Aku benar-benar minta maaf atas yang tadi. Aku tidak tahan dengan bau leather dan kamu menggunakan wangi itu. Dengar, aku sangat menyesal, oke? Aku akan menebus kesalahanku dengan apa-pun, jadi kamu bisa merasa kita impas. Bagaimana?"
"Menebus kesalahan, ya?" Ucap Bhian seolah-olah sedang bertanya pada dirinya sendiri. "Mungkin kamu bisa mengatakan ke Eyang aku kalau kamu tidak setuju dengan perjodohan ini? Setelah itu baru aku pertimbangkan akan memaafkan kamu atau tidak."
Sudah aku bilang, kan? Pria ini benar-benar licik.
"Aku benar-benar tidak punya pilihan, ya?" Ucap Tyas terdengar kesal dan pria itu mengabaikannya.
"Alright, i'll do it!" Kata Tyas pada akhirnya.
Bhian yang tadi duduk dengan sangat tenang lalu tersenyum miring tanpa menatap Tyas sama sekali. Hanya sedetik, pria itu tersenyum miring hanya sedetik dan Tyas tidak akan melihatnya kalau saja ia tidak memperhatikan pria itu setiap saat. Kenapa juga Bhian harus terlahir dengan wajah yang sangat sempurna dan menarik untuk ditatap?
Tidak, tidak. Wajah pria itu persis seperti lucifer yang sangat tampan sekaligus menyebalkan, apalagi ketika ia— untuk pertama kalinya melihat pria itu tersenyum miring seperti tadi, benar-benar tampan— tidak. Maksudnya benar-benar menyebalkan. Oh, ayolah... Tyas, sadar! Di depanmu ini lucifer bermuka jelek! Buruk rupa! Berhati ding—
"Sudah puas menatap saya?"
Apa?
"Saya tidak suka dipandangi seperti itu. Kamu bisa menatap Adam kalau kamu mau."
"Siapa juga yang ngeliatin kamu?!"
Bhian tidak menjawab dan hanya memandangi wajah wanita itu beberapa lama.
Tyas memerah, tapi perasaan itu cepat digantikan dengan perutnya yang mulai terasa di aduk-aduk.
"Bhian, sepertinya aku mau muntah lagi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day When Nashville Rain
Romanzi rosa / ChickLitSeperti apa rasanya mencintai laki-laki yang tidak mencintai kamu? Aku, Tyas R. Tedjaseputra, terpaksa menjalin hubungan sandiwara dengan pria paling sibuk.