Bab 3

34 2 0
                                    

             Satu hari sebelum keberangkatan ke Surabaya.

             Bhian terlihat lebih segar setelah baru saja kembali dari mushola untuk menunaikan sholat ashar nya. Jas hitam yang ia kenakan sebelumnya sudah dilepas dan menyisakan white shirt dengan lengan baju yang sudah ia gulung ke atas siku. Ia memandang sekilas sekretarisnya yang baru saja tiba di kantor dan berdiri dihadapannya saat ini.

            "​​Performance financial reports." Ujar Mila, sekretaris Bhian.

            "Aparat pengawasan intern secara mendadak meminta kita untuk membuat laporan itu, Pak." Mila baru saja tiba di kantor setelah tadi siang mendadak hilang. Ia sedang memberi laporan terkait pertemuannya bersama Itjen dengan wajah cemas sekaligus takut karena menatap wajah atasannya yang lebih banyak mengerutkan dahi saat membaca berkas laporan di tangannya

            "Hmm,"

            "Jadi apa yang harus kita lakukan?"

            "Apalagi?" Bhian memutar arah kursi kerja nya menghadap ke depan dan melihat sekretaris nya itu yang lebih tampak gusar dari pada dirinya sendiri. "Tentu saja kita akan menyusun laporan keuangan periode berjalan. Jika Inspektorat Jenderal meminta laporan itu— or in explicitly, what they are really asking from us adalah laporan untuk program sekolah inklusi dan revitalisasi vokasi." Jawab Bhian sedikit terdengar sarkas.

            "Baik, Pak. Nanti saya koordinasikan dengan bagian unit akuntansi dalam proses penyusunannya." Jawab Mila dengan takut ketika Bhian beranjak dari tempat duduknya.

            "Ya. I'll send you the document that you will need through email tonight. Satu lagi, jadwal saya tidak ada yang berubah. Saya tetap berangkat ke Surabaya besok pagi dan lusa saya tetap ada pertemuan dengan Bapak Gunadi." Mila mengangguk paham dan selanjutnya Bhian berlalu meninggalkan wanita itu untuk berjalan menuju parkiran gedung untuk pulang ke apartemennya.

___

            Kediaman Sri Bajramaya, Surabaya.

            Open hi-hat... snare 1x... kick-kick.

            Cinde berusaha mengingat pola ketukan yang diajarkan Batara sebelum pria itu kembali dari dapur. Ia menggaruk kepalanya lagi ketika melihat bagian-bagian drum yang sangat banyak.

            Open hi-hat... snare 1x... kick-kick... crush cymbal... snare... snare, snare apa?

            "Aduh, aku nggak ingat!" Teriak Cinde frustasi dan bersamaan dengan Batara yang sudah kembali dengan membawa segelas air dingin di tangannya. Pria itu bersandar di samping tembok dan meminum airnya dengan sangat santai sambil menatap ke arah Cinde.

           "Apa?" Batara menaikkan sebelah alisnya ketika Cinde menatapnya dengan kesal. "Sudah aku bilang, kan? Nggak akan bisa kalau kamu langsung ke lagunya, tapi belajar lewat ketukan biasa dulu dan hafalin bagian-bagian drumnya. Nggak usah jadi jagoan kamu, Cinde." Ujar Batara dengan nada merendahkan yang masih bisa ditangkap oleh adiknya.

            "Diam, deh! Cepat kasih tahu aja, habis mukul ini terus apa lagi?" Ujar Cinde setengah emosi.

            Batara mendengus sebal. Pekerjaan yang paling susah menurutnya di dunia adalah mengajari adiknya sendiri. "Salah! Bukan itu..." Pria itu meletakkan gelasnya di meja dan berjalan mendekati Cinde, "Harusnya kamu pukul bagian crash cymbal dulu, baru pukul snare drum dua kali bersamaan dengan hi-hat. Nah, ayok coba ulang."

            Cinde mulai memukul stik drum nya sesuai dengan arahan kakaknya. "Nggak gitu, Cinde!" Batara menghentikan adiknya. "Ya tuhan... Nggak gitu, ngapain kamu pukul yang ini? diinjek -dibuka-diinjek-dibuka. Ulang lagi!"

The Day When Nashville RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang