03

19 2 0
                                    

.
.

Uhm... melihat kamarnya yang sudah menyala, dia pasti sudah pulang. Tapi aku tidak bisa menemukan sosoknya.

Piring kotor tadi pagi? Tentu saja sudah aku cuci sebelum pergi.

Selagu menunggu, kalau aku mengunggah satu foto di instagram pribadiku malam ini tidak apa-apa kan?

Aku hanya akan memfoto bayanganku dengan wajah tertutup ponsel di jendela besar. Lagipula pemandangan dari sini sama dengan pemandangan di apartemen kami di lantai sembilan. Nomor kamar kami juga sama.

Aku duduk di tepian jendela ketika menemukan sosoknya berjalan di bawah sana. Sepertinya dia baru saja dari mini market di seberang gedung. Dan langkahnya sangat cepat.

Yang membuat mataku tidak bisa lepas dari pintu depan. Dengan kecepatan langkahnya seperti itu, dia seharusnya tiba sebentar lagi.

tit.tut.tit.tit. tut.tut.tut.tit.
Klik.

"Byeol, kamu-"

Dia menatapku dengan wajah yang penuh peluh. Kedua matanya merah karena keringat.

"Sseong!" panggilnya dengan napas memburu. Dia menjatuhkan barang bawaannya dan berjalan cepat ke arahku.

"Akh!"

Beruntung aku berhasil menangkap tubuhnya sebelum membentur lantai. Sepertinya dia tersandung kakinya sendiri.

"Kamu gak apa-apa, Byeol?" tanyaku memastikan. Entah karena cuaca di luar mulai dingin sedangkan dia hanya mengenakan kaos dan celana pendek atau apa, tapi tubuhnya terasa sangat dingin.

"Kamu sakit?"

Tangannya meraih tubuhku, mengeratkan pelukan kami.

Dan dia mulai terisak.


💜💜💜


Aku memeriksa pesan masuk dari San. Dia bilang ayamnya sudah datang. Tapi aku tidak bisa meninggalkan Byeol yang sedang sakit. Tubuhnya hampir sedingin es.

"Aku udah muntah tadi. Badanku udah lebih baik," ujarnya menatapku dengan sepasang mata yang sayu di tempat tidur. "Kamu balik aja ke atas."

"Lagi sakit gini mana bisa aku tinggal." Aku mengusap-usap tangannya. "Mau aku pesenin bubur?"

Dia menggeleng. "Aku udah makan tadi."

Aku menyusup ke balik selimut. Menarik masuk tubuhnya ke dalam pelukan untuk berbagi hangat tubuhku dan memberinya kenyamanan.

"Uhm...Sseong?" panggilnya dengan suara teredam. Aku menjauhkan diri untuk menatap wajahnya.

"Zipper jaketnya mentok hidungku." Dia menunjuk hidungnya yang memerah. Ada cetak zipper samar di sana. "Buka ya?"

Anak ini kadang memang suka frontal.

"Tapi aku cuma pakai jaket ini..." sahutku ragu.

"So... what?"

Dia membuka zipper jaketku setengah dan kembali masuk ke dalam pelukanku. Kali ini aku yang panas dingin.

"I catch a cold," gumamnya lagi. "If we're kiss now, kamu bakal ketularan, gak?"

Alu tersenyum kecil.

"Kamu gak perlu ijin, to kiss me."

Aku menurunkan pandanganku, mengecup keningnya yang dingin. Dia menatapku terkejut.

"Kenapa kaget? Ini bukan pertama kalinya aku nyium kamu," ujarku setengah tertawa.

"Kalau kamu ketularan giman-"

Cup. Aku menghentikan kalimatnya dengan sebuah kecupan singkat.

"Cuma flu doang, kok."

Aku meraih dagunya. Memberikan kecupan bergantian di bibir atas dan bawahnya.

Sorot matanya terlihat ragu.

Ingat aku pernah bilang kalau dia tidak pernah egois? Perlu beberapa saat untuk meyakinkan dirinya bisa melakukan apapun yang dia inginkan. Dia boleh egois terhadapku.

Aku kembali mencium bibirnya. Kali ini dengan lumatan singkat di bibirnya beberapa kali.

Dia mendorong bahuku ke belakang. Menjatuhkan sisi jaketku melewati bahu. Kemudian mencium bibirku intens.

Byeol tidak pernah menjadi egois untuk dirinya sendiri.

But sometimes, she can be a dominant.

💜💜💜

STARLIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang