05

14 2 0
                                    

.
.

Ketika agensi mulai mempersiapkan comeback kami, itu berarti bisa lebih dari tiga bulan prosesnya. Dimulai dari mengumpulkan materi lagu, shooting MV, sampai latihan performance.

Agak sulit menemukan waktu luang di antara jadwal kami yang padat.

Tapi sesekali aku bisa mampir ke lantai empat untuk memastikan dia baik-baik saja. Meskipun intensitas pacaran kami berkurang.

Jujur saja, tubuhku terlalu lelah karena harus melatih dance kami setiap hari.

"Lagu kalian bagus," ujarnya memberikan segelas cokelat panas kepadaku. Dia duduk di sebelahku dan menyeruput cokelat panas miliknya.

"Aku yakin gak lama setelah rilis bakal berada di urutan 1." Dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Tangannya memeluk gelas mencari kehangatan. "Fans kalian juga gak kalah keren."

Aku menatap bayangan dirinya yang menatap gelas. Balutan di pergelangan tangan dan jemari kirinya kembali menarik perhatianku.

"Udah mau cerita tangan kamu itu kenapa?"

Dia tersenyum.

"Karena aku ya? Karena kemarin aku terlalu maksa kamu?"

Permainan kemarin memang membuatku merasa bersalah. Aku sudah lama tidak bertemu dengan dia dan malah memaksanya melakukan seks. Aku sadar sudah terlalu kasar ketika dia kembali menangis di pelukanku.

"Luka lama." Dia menggelengkan kepalanya. "Padahal udah lama sembuh. Tapi akhir-akhir ini sakit lagi."

Otakku mengingat-ingat apakah dia pernah menceritakan tentang 'luka lama' itu. Tapi nihil. Dia tidak pernah menceritakannya.

Aku akhirnya meraih tangan kirinya. Mengusapnya lembut. "Beneran bukan karena kemarin?"

"Kemarin..." Dia menggigiti kuku jemari kanannya. Hal yang tidak pernah kulihat selama ini. "Kemarin memang bikin jadi lebih parah, sih."

"Maafin aku." Aku mengecup tangan kirinya.

Sebagai performers, aku terbiasa melihat berbagai macam cedera ketika latihan. Aku penasaran apa yang membuat tangannya terluka separah itu.

"Aku cuma harus pakai ini beberapa hari, kok."

"Kalau gitu, udah sembuh pas aku balik dari comeback tour seminggu lagi."

Dia mengangguk ragu, kemudian menyeruput kembali cokelatnya.

Raut wajahnya menarik pertanyaan lain dariku. "Ada masalah lain?"

Sepasang matanya berkilat membiaskan cahaya lampu dari gedung di luar ketika mendongak, berusaha menatap wajahku. Dia meletakkan gelas cokelatnya di jendela. Tangannya yang cedera mengeksplor wajahku. Menyapa setiap inchi. Ibu jarinya mengelus rahangku.

"Byeol?"

Dia menarik tengkukku dalam sekali coba. Mempertemukan bibirku dengan bibirnya yang terasa seperti peach, padahal dia tadi minum cokelat panas. Tapi aku tersenyum dalam ciuman menuntut itu. Ternyata dia memakai lipbalm yang beberapa hari lalu kuberikan padanya.

Tanganku menyusup ke surai hitam legamnya setelah ikut meletakkan gelasku disamping miliknya. Ingin mengimbangi permainan yang dia inginkan. Ketika dia tiba-tiba beralih duduk di pangkuanku.

Sisi dominannya kembali muncul.

Bibirnya mulai melumat bibirku atas dan bawah. Bergantian hingga dia sendiri kehabisan napas. Kedua matanya yang sayu menatapku intens.

Dan aku tidak bisa hanya membiarkannya memimpin. Aku meraih rahangnya sedikit kasar. Meraup bibirnya kembali.

"Akh!' pekiknya yang tiba-tiba membuatku menghentikan ciuman kami.

"Kenapa?" tanyaku khawatir. Aku takut kembali melukai dirinya.

"Kenapa kamu pakai kemeja, sih? Aku gak bisa buka..." Dia menunjukkan tangan kirinya. Aku tersenyum menatap wajahnya yang memerah.

"Tinggal bilang, Byeol. Biar aku buka sendiri."

Dia kembali mengecupi wajahku hati-hati ketika aku membuka kancing kemejaku satu per satu. Mungkin takut meninggalkan bekas yang sulit hilang karena aku masih memiliki jadwal promosi.

"Ahh... Byeol..." Mana bisa aku menahan desahanku ketika dia memancing naluriku dengan herakan di bawah sana dan jilatan yang menggoda di telingaku?

Kedua tangannya meloloskan pakaianku dengan sempurna. Dia mengusap bahuku dengan gerakan lembut namun kasar, karena kain kasa yang membalut cederanya.

Sambil masih duduk di atas milikku, dia membuka pakaiannya sendiri.

Padahal aku sudah tahu kebiasaan no bra-nya di rumah. Tapi aku masih terkejut.

Aku hanya bisa menahan hasratku di bawah sana.

Kecupannya berangsur turun ke abdomenku yang tidak terlalu terlihat. Ketika tangannya aktif membuka celana yang kukenakan, aku menyentuh bahunya, duduk untuk menghentikan dia.

"Kamu mau apa?" tanyaku dengan suara berat. Aku sendiri agak terkejut karena suaraku begitu dipenuhi nafsu.

Dia menatapku dengan ekspresi polos di bawah sana. "Mau apa lagi memang?"

"Blow?" Kedua mataku memicing. "Kamu bilang itu kotor."

Tangannya lanjut mengusapi paha bagian dalamku. Membuatku sekali lagi meloloskan desahan spontan.

"Tapi kamu suka," ujarnya mulai memberikan sentuhan jemarinya di milikku. Memutarinya dengan gerakan menggoda.

"Byeoll.... hh"

Persetan dengan otak dan mulutku yang tidak sinkron. Aku baru menolak tapi tanganku malah meremat bahunya intens. Tentu saja dia tersenyum menang.

Tangannya yang cedera mempermainkan twins-ku, sedang tangan lainnya menahan milikku tetap tegak. Dikecupinya inchi demi inchi uratku yang semakin menonjol.

"Aku..." gumamnya ragu. "Gak pernah coba, tapi..."

Senyumanku yang terukir karena mendengar kalimat polosnya detik itu juga berubah menjadi desahan. Mulutnya yang hangat dan lidah yang menjilati milikku dengan lihai membuatku semakin lupa diri.

Dia beberapa kali menghisapnya hingga kehabisan napas.

"Uhukk... maaf," ujarnya melepaskan kontak kami. Wajahnya merah.

Aku menarik dirinya bangkit. Mengusap sudut matanya yang basah dengan lembut. "Gak usah dipaksain. Aku suka permainan kita yang kayak biasa."

"Kamu juga masih cedera. Aku gak mau kamu tambah sakit." Tanganku menggenggam jemarinya. Sedangkan tanganku yang lain mulai menelusup ke dalam celana pendeknya.

"Seonghwa..."

Desahan itu adalah akhir dari sesi dominan Han Byeol. Kali ini, biarkan aku kembali memimpin.

💜💜💜

STARLIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang