3

56 2 0
                                    

"Sorry nih, Rom," kata Dhani akhirnya. "Karena Mbak Wina berakhir kecelakaan, apakah itu artinya lu?"

"Gue waktu itu nggak sadar itu pesan dari masa depan, Dhan," sergah Romi. "Gue malah nganggepnya bahwa Mbak Wina kecelakaan saat gue nerima pesan itu dan yang gue liat di lantai 4 itu hantunya."

Dhani mengangguk pelan, "iya, sih. Kalau gue jadi lu juga kayaknya bakal mikir gitu juga."

Dari nadanya, Romi tahu bahwa Dhani hanya ingin menghiburnya agar dia tidak merasa bersalah.

"Abis dapet pesan itu, gue buru-buru keluar, dan pas mau turun ke lantai 4 aja gue takut-takut."

"Terus, lo ketemu Mbak Wina?"

"Ketemu."

Romi melanjutkan, "pas gue turun. Dia lagi nunggu lift. Dia lihat gue dan langsung nyuruh gue banyak hal buat agenda besok. Saat itu, gue nggak fokus dengerin, tapi gue liatin tubuhnya: apa dia hantu atau manusia."

Dhani tertawa pelan, "lo ngecek kali aja kakinya nggak napak ya?"

Mau tak mau Romi ikut tersenyum, "iya, Dhan. Sampai dia negur gue karena diem aja, dan kami jadi ngobrol."

"Dan saat itu, dia masih manusia?"

Romi mengangguk, "masih. Soalnya ketika lift yang dia tunggu datang, dia ketemu temennya dan mereka saling nyapa. Kalau dia hantu, jarang kan, ada banyak orang yang lihat dan bisa ngobrol sama hantu."

"Terus, kapan lu akhirnya sadar bahwa pesan itu dari masa depan?"

Romi tidak langsung menjawab dan pandangannya kembali menatap kosong ke luar rumah. Hujan sudah sama sekali berhenti, tinggal tetes-tetes air dari genteng dan dedaunan. Jalan depan rumah sudah tidak dialiri air, hanya tersisa aspal yang berkilat-kilat basah. Suara-suara yang ada saat ini dipenuhi katak-katak yang bersahutan dari persawahan di Selatan perumahan.

Romi akhirnya bersuara, "gue liat hape lagi pas udah duduk di kursi. Pesan itu masih ada. Gue baca ulang, gue cek fotonya, dan terakhir, gue cek waktu pesannya dikirim."

"Lu sempet screenshot?"

Romi menggeleng, "pas gue sadar waktu pengiriman pesan itu, gue kembali shocked karena waktunya itu pukul 18.30, dua jam dari saat itu."

"Yah."

"Menurut lu, gue akhirnya memperingatkan Mbak Wina, nggak?"

"Hmm ... kalau diperingatkan pun biasanya bakal nggak langsung percaya," kata Romi. "Itu kalau di film-film sih, tapi kan lu masih bisa nunjukkin pesan itu. Eh, Rom, pesan itu bertahan sampai kapan? Sekarang masih ada?"

Romi sengaja tidak menjawab. Dia ingin Dhani sadar bahwa yang meresahkannya sekarang bukan soal pesan itu, melainkan pilihan dia akan pesan itu. Sebuah pilihan yang menciptakan rasa bersalah dan mimpi-mimpi buruk yang mengikuti.

Dhani akhirnya sadar setelah melihat air muka Romi, "Sorry, Rom. Jadi, lu akhirnya nggak memperingakan Mbak Wina ya?"

"Iya, Dhan," kata Romi. "Gue lagi benci-bencinya sama dia waktu itu. Gue malah ... sedikit senang kalau dia kecelakaan dan mati. Jadi, gue biarkan saja. Waktu itu juga gue beralasan--biar ada pembelaan--bahwa belum tentu isi pesan itu bakal beneran kejadian juga."

Romi menarik napas, dan melanjutkan dengan suara bergetar, "tapi ternyata hal itu beneran kejadian."

Sunyi.

Kemudian Dhani mengulurkan tangannya dan menepuk-nepuk punggung Romi.

"Lu tadi nanya pesan itu masih ada atau sudah ilang?"

Dhani memandang Romi dengan tatapan iba, "tapi kalau lu nggak mau bahas ini lagi, nggak apa-apa, kok."

"Pesan itu ilang setelah gue memutuskan untuk nggak mau memperingatkannya, Dhan. Pesan itu tuh seolah untuk menguji gue, apakah gue mau balas kejahatan Mbak Wina atau memaafkannya. Dan gue memilih membalas kejahatannya. Gue udah bunuh dia secara nggak langsung, Dhan."

Romi menunuduk dan memijat-mijat keningnya sendiri sambil menggeleng-gelengkan kepala, "padahal mungkin kalau gue peringatkan, dia masih bisa selamat."

Dhani meremas pundak Romi, "sudahlah. Itu semua sudah telanjur terjadi."

Sebuah angin berhembus dari Utara, menerbangkan tetes-tetes air dari genteng dan menghujani mereka berdua. Rasanya seperti jarum-jarum es ketika mengenai kulit.

"Dhan, menurut lu, keputusan gue bener, nggak?"

"Keputusan lu ... untuk tidak memperingatkan Mbak Wina?"

"Iya, dan alasan gue tidak melakukannya karena gue membencinya."

Romi menatap cemas wajah Dhani: tanpa ekspresi, seperti hendak menjatuhkan vonis yang ditakutinya.

Namun, tiba-tiba Dhani menyunggingkan senyum, "kalau gue di posisi lu, gue juga akan melakukan yang sama. Kalau Mbak Wina ditukar dengan seorang pembunuh berantai, apakah lu akan seragu ini?"

Dhani memikirkan sejenak akan pertanyaan itu, dan kemudian menggeleng.

"Bener, kan? Anggap saja keberadaan Mbak Wina di dunia ini lebih banyak kerugiannya daripada manfaatnya."

"Tapi ... ada hal lain lagi, Dhan."

Romi ingat mimpi-mimpi yang hadir sehari setelah kecelakaan Wina. Dia berdiri menghadap sebuah mobil yang bagian dalamnya penuh kobaran api. Di kursi pengemudi, seseorang yang terbakar berteriak-teriak. Sosok itu memarahi dirinya, "kenapa kamu tidak memperingatkan dia? Kenapa?! Kenapa?!" Akhir mimpi itu selalu sama. Romi kembali ke kamar, lalu tubuh hangus terpanggang itu sudah ada di sebelahnya dan berteriak histeris. Baru setelah itu dia benar-benar bangun dari mimpinya. Sosok itu rutin mengunjunginya, dan baru mereda setelah setahun kemudian.

"Kecelakaan Mbak Wina bukan kecelakaan tunggal," kata Romi. "Ada korban lain hari itu."

"Seriusan?"

"Iya. Gue udah cari-cari berita kecelakaannya, dan ada satu mobil lagi yang terlibat dan pengemudinya juga meninggal. Dia yang justru paling sering ganggu gue dibandingkan Mbak Wina. Orang itu marahin gue, kenapa gue nggak memperingatkan Mbak Wina. Andai gue melakukannya, orang itu pasti akan selamat."

"Mana mungkin?" sergah Dhani. "Lu nggak tahu kan kalau bakal ada korban lain?"

Romi memejamkan matanya. Sejak dihantui orang itu, dia memeriksa kembali foto kecelakaan Mbak Wina--foto asli yang dikirim Mas Ojan di waktu yang benar. Di belakang mobil Mbak Wina yang ringsek, tampak samar adalah sebuah mobil yang tengah terbakar.

Romi menggeleng, "gue nggak tau."

"Nah, kan. Menurut gue, itu bukan tanggung jawab lu, dan lu nggak perlu merasa bersalah. Kita anggap saja, dia lagi apes."

Setelah dipertimbangkan baik-baik, pernyataan sederhana itu masuk akal di pikiran Romi. Dia ingin tertawa. Dia ingin meneriaki sosok yang hangus itu: gue nggak dengan sengaja bunuh lu. Apes saja lu ada di tempat ketika orang yang gue pengen mati mengalami kecelakaan.

"Terima kasih, Dhan."

Sejenak Romi dan Dhani tidak berbicara, keduanya khidmat mendengarkan nyanyian birahi para katak. Kopi di cangkir Dhani sudah tandas, sementara milik Dhani masih sisa setengah. Di atas sana, awan-awan mendung sudah hilang, langit bersih, dan tampak bulan separo menggantung sendirian.

"Rom," kata Dhani. "Lu tiba-tiba cerita begini ... apa karena lu ngalamin lagi?"

Romi tidak langsung menjawab. Setelah beberapa detik berlalu akhirnya dia berkata lirih, "enggak, Dhan. Gue cerita karena beban rasa bersalah tadi masih ganggu hidup gue. Terus gue inget, gue belum pernah cerita ke siapa-siapa."

"Syukurlah."

Dhani kembali berkata, "lu mau janji, nggak?"

Keduanya menoleh bersamaan dan saling bertatapan.

Romi berkata, "janji apa?"

"Kalau lu suatu hari liat ramalan kematian gue, lu mau ngabarin gue?"

Romi tersenyum, dan kemudian mengangguk.

Berita Orang MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang