05

3K 334 36
                                    

"Jadi selama ini aku salah?"

"Tentu, yang terjadi padaku bukanlah suatu hal yang ada di kepalamu."

Keduanya kini tengah duduk berhadapan sembari menikmati mie instan yang Arya siapkan. Kepulan mie itu menerpa wajah keduanya, terutama Arya yang sedang menatap serius kearah Sastra.

"Siapa yang senior tolak sampai ada rumor mengerikan begitu?"

"Linca"

"Apa-?! Maksud nya kak Linca si primadona kampus?"

Sastra hanya mengangguk sebagai jawaban, baginya pembicaraan ini sungguh tak penting. Ia lebih memilih menyeruput mie instan nikmat itu. Mengabaikan Arya yang terus saja berceloteh.

"Gila.. pantas saja sih, dia kan orang nya suka playing victim."

Sastra kembali mengangguk dan memilih memperhatikan Arya yang kembali tenang dan menghabiskan mie nya.

Setelahnya mereka berdua hanya saling menatap canggung, terutama Arya yang tak tahu harus bagaimana lagi. Perasaannya kini antara malu setengah mati dan juga tergelitik. Tapi ya tetap.. Arya akan selalu pada pendirian bebalnya.

"Tapi senior beneran kok di tempelin hantu!"

Arya berucap tegas namun tak berani melihat kearah Sastra. Ia justru berbalik pergi dan membuang sisa cup mie instan nya. Sastra hanya bisa terkekeh dibuatnya, baginya terlibat dalam kejadian seperti ini bersama Arya sungguh menyenangkan. Meski pada awalnya ia merasa sedikit risih karena di buntuti, namun pada akhirnya ia malah bisa membuka hati.

Sastra bangun dan mengikuti Arya, terus saja ia mendekat bahkan tak mau berpisah sedetik pun dengan Arya. Seperti anak itik yang mengekori induknya. Bukan tanpa alasan ia begitu, hanya saja melihat wajah kemerahan Arya sungguh candu sekali.

"Senior bisakah duduk saja?"

Bukannya menurut, Sastra justru malah berkeliaran disekitar kamar kos Arya. Memperhatikan ruang sempit yang penuh benda benda unik itu. Tapi salah satu lukisan yang tak terpajang terbungkus koran sobek dan usang menjadi pengalih perhatiannya. Sastra berbalik melihat Arya yang sedang menjemur pakaian dalam nya, dirasa aman ia pun mulai mengambil lukisan tersebut dan melihatnya dengan seksama.

Sebuah potret wanita yang tengah menggendong seorang anak laki-laki. Dengan gaun putih klasik juga latar biru dan hijau khas didaerah pedesaan membuat lukisan itu nampak begitu indah. Lukisan yang Sastra pegang terasa lebih hidup, apalagi ketika melihat mata sang wanita lukisan tersebut. Begitu mistis namun juga menenangkan.

"Itu ibuku.."

"Astaga!"

Hampir saja Sastra membanting lukisan ini jika saja Arya tak segera menahannya. Tahu jika spontanitasnya begitu menggelikan, Sastra pun berdehem dan mencari topik yang tentunya sudah ia siapkan didalam kepala ganteng nya.

"Maaf jika lancang.."

"Tak apa, lagian aku suka kok dengan lukisan itu."

Alis Sastra mengkerut heran, pandangan nya tak lepas dari Arya dan juga lukisan itu. Ia pikir... jika Arya menyukai lukisan ini, kenapa tidak dipajang saja? Malah hanya dibiarkan dan dibungkus koran usang begitu kan sangat disayangkan.

"Kenapa tak dipajang saja?"

"Malu senior, soalnya itu bocah di lukisannya kan Arya." 

Dilihat dari sisi manapun, bocah yang Arya maksud dalam lukisan itu sangatlah manis dan juga normal normal saja, seperti potret ibu dan anak lainnya. Arya melihat tatapan heran itu dan menggaruk pipinya pelan.. ia menunduk lalu melanjutkan berbicara..

Prasangka AryaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang