II

24.5K 1.1K 43
                                    

 Telah diperbaharui pada 5 Juni2016...

Di sela serangkaian kilat yang terang layaknya matahari, guntur bergema-gema di dalam kabin. Lalu, kulihat peta digital di layar TV di hadapanku.

"Above Italy?" tuturku bingung.

"Wah, akhirnya bangun," celetuk seorang lelaki berusia mungkin sekitar 25 tahun yang duduk persis di sampingku.

Aku tersenyum kecut, tak tahu kalau ada yang memerhatikan.

"Letih?" tanya pria itu.

Aku cuma bisa mengangguk. "Beberes dan membersihkan apartemen sampai kinclong," balasku.

"Pulang selamanya ke Tanah Air?" tuturnya sambil mengaduk teh panas dengan pelan dan lembut.

Aku menelan air liur, "Iya, sepertinya."

"Sekolah?"

"Columbia, baru kelar. Kamu?"

"Ah, cuma menjelajah Amerika. Bersyukurlah. Tanah Air tempat paling wenak sepanjang riwayat," balasnya dengan nada yang mencairkan suasana.

Pesawat kembali bergetar dan petir disertai Guntur berkelebat di luar jendela. "Bersyukur itu pasti, tapi rasanya kayak hujan yang terjadi sekarang."

"Maksudnya?" dia memasang wajah bingung.

"Iya, karena perasaan ini seperti hujan yang awalnya bermanfaat, tapi takut kalau durasinya lama, jadi merugikan," balasku sambil menutup jendela di sampingku.

"Oh, saya ngerti. Kamu takut awalnya senang kembali ke sana, tapi akhirnya nggak?" tuturnya sambil menatapku.

"Semacam itulah."

"Paranoid sekali. Jalani dulu. Nggak ada yang sama dalam waktu. Semua berbeda dan bersifat mutlak dalam setiap peristiwa yang kamu sisipkan dalam detik kehidupanmu," dia menegaskan sebuah kalimat yang membuat diriku membuka mata.

Aku melihat sebuah kabel earphone yang bergelayutan dan menari mengikuti setiap guncangan yang menerpa pesawat. Suara guntur semakin sering, seiring berjalannya pesawat mendekati Timur Tengah. Dan, seseorang yang duduk di sampingku terus berupaya untuk meluruskan apa yang terjadi padaku saat ini. Saat ini? I'm just FINE. FINE yang berarti "Fuck I Need Help!".

"Kok mendadak bisu?" tanyanya sambil memetik jari di depan wajahku.

"Kamu yakin nggak sama? Lihat sekitar kita. Sebuah frekuensi kejadian yang sama tetap terjadi, dan itu terjadi pada benda mati. Berarti manusia juga, karena dia bisa mengulangi," semua keluar dari bibirku.

"Ya benar, yang kita alami seperti sebuah hal yang diulang-ulang. Tapi, coba perhatikan, contohnya earphone itu deh. Apa earphone itu bergerak dengan panjang simpangan yang sama? Nggak. Simpangannya beda setiap saat. Petir? Bagaimana kamu bisa menyimpulkan kalau setiap petir yang dari tadi menggelegar nggak berhenti-berhenti, adalah petir yang sama? Energi dari masing-masing petir itu berbeda. Dan aku? Hey, pikiranku berbeda-beda tiap saat, dan setiap sel di dalam tubuhku berganti setiap saat. See? Nothing is the same in this world!" kembali, ia mencairkan hati yang dingin.

Kenapa dia repot-repot memaparkan hal ini? Siapakah dia?

"Udahlah, mungkin kamu benar. Jalani saja," tuturku mendatangkan keheningan sesaat.

Destination: Jakarta 2040Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang