V

15.9K 806 20
                                    

Telah direvisi pada 27 Juni 2019


Air hangat perlahan menghujani badanku. Mengalir melewati tiap lekukan di tubuh. Badanku terasa ringan, walau kepala masih berat.

Semalaman aku berpikir tentang satu hal: paradoks. Putri yang barusan aku temui adalah orang yang sama dengan yang seharusnya aku temui saat aku pulang ke Indonesia. Tapi, alih-alih masih berusia 5 tahun—seperti usianya yang seharusnya—, Putri kini berusia 30. Ini karena ajaibnya aku terlempar ke 2040. Paradoks ini disebut paradoks kembar, dan menurut dunia fisika, bisa terjadi.

"Relativitas khusus," cetusku dengan pelan di antara suara air.

Putri sudah rapi, karena ia bangun lebih pagi ketimbang aku. Kemeja denim biru navy dan celana chino berwarna krem, serta sneakers berukuran 44 jadi pilihan outfit untuk pulang ke rumah. Aku meraih koper dan tas. Bersama Putri, aku meninggalkan kamar hotel di bandara.

"Kamu nyetir sendiri?" tanyaku di tengah elevator yang menurun.

"Aku dijemput suamiku," jawab Putri sambil sibuk dengan ponselnya yang transparan. Sungguh ponsel yang aneh. Transparan.

"Wait, kamu udah nikah?! Aku juga melewatkan momen besarmu," sedih kembali menggayuti.

Putri mengelus punggungku lembut. "Kak Ilyas, yang penting sekarang Kakak ada di sini. Ya?" seru Putri sambil tersenyum kepadaku. Aku mau tak mau tersenyum melihat wajah bahagianya.

"Kamu di mana?" wajah seorang lelaki matang muncul di layar ponsel Putri.

Tak lama, sebuah mobil putih dan tak bersudut berhenti di hadapanku dan Putri.

"Oke, aku lihat kamu," Putri melambai-lambai kepada seseorang di lobi hotel.

Kami menghampiri sebuah mobil putih tak bersudut di lobi. Suami Putri menghampiri dengan bergegas dan mengajakku berjabat tangan.

"Selamat datang di masa depan, Mas Ilyas," dia menyapa dengan tersenyum dan berjabat tangan denganku.

"Wah, panggilan 'mas' masih dipakai juga, sekarang?" aku serius bertanya.

"Rasanya pasti aneh, ya, Mas?" di tengah jalan, suami Putri mendadak bertanya.

Aku memandang suami Putri dengan tatapan menyelidik.

Tak perlu ditanya, ia menjelaskan sendiri. "Maksudku, mendadak ada di tempat yang sama, tapi sebenarnya sangat jauh."

"Kita lanjut nanti, ya. Butuh tenaga ekstra buat jelasinnya," balasku sambil kembali memandangi Jakarta di tahun 2040.

"Oh, oke, Mas. Maaf."

"Ah, santai."

Halo, Jakarta. Kota kelahiran. Kota tempat aku bernaung dan menuntut ilmu selama 12 tahun. Tempat aku belajar jadi manusia yang baik selama 18 tahun. Kota yang aku rindukan, walaupun kehancuran terjadi di berbagai bidang. Kota yang aku anggap rumah.

"Home sweet home!" seru Putri saat sampai di depan rumah.

Rumah yang Putri tinggali ini bukanlah rumah baru. Rumah ini adalah rumah tempat kami lahir dan besar. Rumah yang dibeli ayah di tahun '80-an.

Aku masuk. Meraba sofa yang rasanya masih sama. Memandangi bentuk dan tekstur lantai keramik yang masih sama. Menatap lekat lukisan Keluarga Aditya yang terpampang di ruang tamu. Mengagumi sebuah chandelier gemerlap yang ayah beli saat aku kecil, dan kini masih tergantung kokoh di langit-langit rumah.

Destination: Jakarta 2040Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang