III

18.3K 1K 51
                                    

Telah diperbaharui pada 5 Juni 2019...

Suara khas roda koper dan hentakan kaki yang cepat terdengar menggesek lantai. Semua orang kebingungan. Mereka tiba di waktu dan tempat yang sama tapi tak sama.

"Jamnya salah kali, ya?" tanyaku dengan pikiran tenggelam dalam manifestasi memori.

"Jam? Betul tapi," jawab Anton yang baru saja mengecek jam tangannya.

"Sekarang, kamu lihat tanggalnya," aku menunjuk tanggal di jam besar tersebut.

"Dua puluh enam Januari dua ribu... hah, dua ribu EMPAT PULUH?"

Anton sontak menghentikan langkah. Tubuhnya kaku sembari mata masih melihat ke arah jam digital itu. Anton, yang sempat bercerita bahwa ia indigo—yang memiliki kemampuan spesial—ini, bahkan tercengang. Sementara, aku lebih bingung lagi.

"Tunggu, tunggu. Maksudnya apa ini?" tanya Anton dengan suara yang pelan.

"Itu juga jadi pertanyaanku," balasku dengan raut muka yang tidak gembira.

"Gimana bisa?" raut muka penuh kejutan terus ia keluarkan.

"Mana aku tahu? Apa mungkin jam itu salah? Kita harus pastikan dulu," kataku kepada Anton.

"Nggak, jamnya betul. Lihat jadwal penerbangannya," dia menunjuk sebuah monitor yang menunjukan jadwal kedatangan pesawat.

Kami berdua kebingungan, sama seperti penumpang pesawat CJ470 yang lain. Tapi, kami berusaha tenang, dan mengikuti penumpang lain yang berjalan ke sebuah ruangan. Ruangan bandara yang dindingnya berwarna putih tapi transparan, dengan langit-langit sangat tinggi dan berbentuk melengkung tak bersudut.

"Tunjukkan tiket dan paspor Anda," aku berhenti berjalan karena seorang petugas bandara mencegatku.

Kukeluarkan tiket dan paspor yang tersusun rapi di kantong hoodie berwarna hitam. Kuserahkan kepada lelaki itu.

Petugas itu mengecek kedua dokumenku, sama seperti mengecek dokumen-dokumen orang-orang di depanku. Ekspresinya tiap kali menerima dokumen dari tiap orang, begitu aneh. Aneh yang tak terjelaskan. Dan, sama seperti yang lain, aku dan Anton juga diarahkan ke ruangan di ujung kiri itu.

"Silakan masuk," petugas yang lain menyambut kami dengan nada suaranya yang dingin.

Suara orang berbicara menenuhi suatu ruangan sebesar convention center. Keramaian yang didominasi oleh suara orang-orang yang bertanya-tanya. Hanya sebagian kecil yang bergeming duduk dan wajahnya pias—serupa syok. Namun, arah ucapan semua orang lama-lama tidak terarah.

"Kita duduk di sini aja lah," aku mengambil posisi duduk di sebelah orang-orang syok tadi. Tas kuletakkan di bawah kursi. Anton turut meletakkan kopernya dan perlahan duduk sambil memijat-mijat kepala sendiri.

What the hell is going on!? aku berteriak tapi hanya di dalam hati. Tak ingin membuat suasana lebih kacau lagi.

Aku menengok ke arah sebuah panggung dan melihat beberapa orang berseragam grasak-grusuk. Aku mencolek Anton dan menunjuk ke arah panggung. Anton mengikuti gerak telunjukku.

"Siapa, tuh?"

"Bodo amat lah itu siapa. Yang penting aku mau tahu apa yang sebenarnya terjadi," nada suaranya meninggi.

Aku melihat sekeliling dan memerhatikan penumpang lain. Aku berupaya menyalakan telepon genggamku, tapi mendadak tidak bisa. Diisi ulang baterainya pun tak ketemu colokan.

Destination: Jakarta 2040Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang