“Bu.” Azam mengulurkan tangan ke arah Ibu.
Ibu membalas mengulurkan tangannya. Azam lalu mencium punggung tangan ibu.Tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Ibu juga diam dan memalingkan wajah. Sepertinya dia sangat membenci pria itu. Mungkin Ibu juga sama kecewanya denganku.
Setelah cukup lama dia berdiri di depan kami. Azam akhirnya pamit undur diri.
Bersamaan kepergian Azam, petugas apotek memanggil namaku. Ibu langsung maju ke depan untuk mengambil obat dan kami pun pulang.***
Sore itu kami duduk di depan televisi. Menonton acara televisi yang menceritakan tentang kisah rumah tangga, kesukaan Ibu.
“Nduk, anak itu rezeki yang Allah titipkan untukmu. Tugas kamu untuk membesarkan, mendidik, dan menjaganya. Jangan pernah kamu menyesal akan kehamilan ini. Banyak wanita di luar sana yang menginginkan anak, tapi Allah belum memberikannya. Kamu itu beruntung, Nduk. Tanpa meminta, Allah sudah mengirimkannya padamu.” Ibu membelai lembut tanganku.
Benar kata Ibu, janin dalam kandunganku ini memang tidak salah. Dia anugerah dari Allah yang diberikan untukku. Aku bertekad akan selalu menjaga dan menyayanginya.
“Insya Allah, Adiba akan menjaganya.” Aku membelai perutku yang masih rata.
“Kamu jangan khawatir, walau Azam tidak menjaga dan mendampingimu saat hamil anaknya. Masih ada ibu dan Bapak yang akan selalu di sisimu.” Ibu membelai lembut rambutku.
Aku bersyukur memiliki kedua orang tua yang sangat perhatian, seperti Bapak dan Ibu. Tanpa mereka entah bagaimana nasib diri ini. Aku lantas memeluknya. Tanpa terasa air mata ikut terjatuh membasahi pipi.
“Assalamualaikum.”
Tiba-tiba terdengar seseorang mengucapkan salam. Gegas, aku menghapus air mata di pipi dan melepaskan pelukan.
“Siapa ya, Nduk?” tanya ibu memandangku.
Aku menggelengkan kepala. “Tidak tahu, Bu.”
Ibu bergegas menjawab salamnya dan berjalan ke depan untuk melihat siapa yang datang.“Walah, ternyata, Nduk Icha. Tak kira siapa? Ayo silakan masuk, Nduk.”
Ternyata Icha yang datang. Tidak biasanya dia datang tanpa memberitahu terlebih dahulu. Ada keperluan apa dia ke sini mendadak?
“Nduk, ada Nduk Icha.” Ibu menghampiriku yang masih duduk di depan TV.
“Iya, Bu.”
“Ibu, buatkan minum sebentar.” Ibu berjalan menuju ke dapur.
Aku bergegas ke depan untuk menemuinya.
Saat aku keluar, ternyata Icha datang bersama suaminya. Mereka sudah duduk di ruang tamu. Aku lantas duduk di kursi yang berada di hadapan Icha.“Adiba, katanya kamu sakit, ya?” tanya Icha. Dia pindah duduk di sampingku.
“Aku tidak apa-apa.” Aku tersenyum padanya.
“Terima kasih, sudah ke sini untuk menjengukku.”“Aku sangat mengkhawatirkanmu. Aku takut terjadi apa-apa padamu, setelah semua yang menimpamu akhir-akhir ini.” Icha menggenggam erat tanganku.
Beberapa hari ini aku tidak berangkat kerja. Aku juga sudah meminta izin kepada kepala sekolah untuk tidak berangkat, selama beberapa hari.
“Beneran, aku dalam keadaan baik-baik saja. Jangan khawatir.”
“Terus, Kamu kenapa tidak masuk beberapa hari ini?” Icha kembali bertanya.
“Badanku cuma lemas saja, Cha,” terangku.
“Adiba hamil, Nduk Icha. Tadi pagi ibu periksakan dia ke puskesmas,” timpal Ibu yang keluar dari arah dapur membawa nampan berisi minuman. “Dia ini bandel, sebulan masuk angin, disuruh ke dokter, enggak mau.” Ibu meletakkan cangkir-cangkir teh di atas meja.
![](https://img.wattpad.com/cover/272890483-288-k170629.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Malam Pertama Tanpa Selaput Dara
RomanceKisah Adiba yang ditalak pada malam pertama.