Bab 8

1.3K 31 0
                                    

"Dia asisten baruku.”

Deg!

Jantungku seketika berhenti berdetak, mendengar pernyataan Azam. Dia hanya menganggap sebagai asistennya. Astagfirullah, Entah apa yang telah aku perbuat padanya. Hingga memperlakukanku seperti ini.

“Kita jadi berangkat bareng kan, Beb?” Luna bergelayut manja di lengan Azam. Memamerkan kemesraan mereka di hadapanku.

Mataku seketika memanas melihatnya. Kenapa dia membawaku ke rumahnya, kalau hanya untuk melihat hal menyakitkan ini.
Luna memang cantik dan muda. Wajahnya putih, halus, terawat sempurna. Badannya pun tinggi, bak foto model. Pantas saja, Azam tergoda padanya. Namun, tak sepantasnya mereka memamerkan kemesraan di hadapanku.

“Baru jam setengah enam. Ayo  masuk dulu, kita sarapan bersama. Sebentar lagi makanan yang aku pesan lewat aplikasi online, datang,” ucap Azam seraya menatap jam di pergelangan tangannya.

“Kenapa tidak suruh dia masak aja.” Luna menatapku sinis.

“Kasihan dia.” Azam memandangku. “Dia baru tiba semalam. Biarkan dia beristirahat dulu,” ucapnya.

“Begitu ya, Beb. Kamu sama pembantu aja baik, apalagi denganku.” Luna tersenyum memandang Azam.

Sedangkan padangan Azam tertuju padaku. Dengan kedua tangan berada di saku celana.
“Ayo kita ke dalam.” Mereka berdua berjalan bergandengan tangan masuk ke dalam rumah.

Tak tahan melihatnya, aku bergegas berjalan keluar untuk menikmati udara segar. Untuk apa aku di rumah, kalau hanya untuk melihat kemesraan mereka.

Bersedih pun tidak ada gunanya. Toh, sedari awal juga dia bersikap seperti itu padaku. Entah dosa apa yang aku perbuat pada Azam. Hingga dia memperlakukanku dengan buruk.

Hah!

Aku menghela napas panjang agar beban di dada berkurang.

“Bismilah ... sehat ... sehat ... sehat.” Aku pun melangkahkan kaki dengan penuh semangat.

***

Udara segar membelai wajah saat aku berjalan menyusuri  jalanan yang ada di dekat rumah. Suasana juga sudah ramai. Banyak orang yang sedang berolahraga pagi.

Di ufuk timur, sang surya mulai memancarkan sinarnya. Membuat bunga-bunga yang tumbuh liar di sepanjang jalan tampak lebih indah. Aku lantas berhenti untuk menikmati keindahannya. Aku juga memetik beberapa tangkai pohon, dengan niat ingin menanamnya di depan rumah.

“Adiba.” Saat asyik memetik bunga, seseorang menghampiriku.

Aku pun membalikkan badan untuk melihat siapa yang ada di belakangku. “Pak Amar.” Aku merasa di mana pun aku berada pria itu selalu mengikutiku.

“Bu Adiba, kenapa ada di sini?” tanyanya.
Aku pun menjelaskan pada pria itu jika sekarang aku tinggal di bersama Azam dil lingkungan itu. Aku pun balik bertanya pada Amar, apa yang sedang di lakukannya di sini.
Dia pun menjawab jika rumahnya berada di sekitar sini. Amar juga memintaku untuk berkunjung ke rumahnya, jika ada waktu luang.

Aku menangkupkan kedua tangan di dada. Meminta maaf padanya dan menerangkan jika aku tidak pernah bertamu ke rumah pria yang bukan mahramku.

“Maafkan atas kelancangan saya, Bu.” Amar balas menangkupkan kedua tangan di dada. Meminta maaf atas kelancangannya yang memintaku untuk berkunjung ke rumahnya. Akhirnya dia menerangkan jika dia tidak hanya tinggal sendiri di rumah. Dia tinggal bersama ibunya. Bisa saja aku mengunjungi ibunya.  “Ibu saya pasti senang jika Bu Adiba main ke rumah.”

Aku menganggukkan kepala. “Insya Allah, Pak.”

Amar memandang bunga-bunga yang tergeletak di tanah yang aku cabut tadi.

Malam Pertama Tanpa Selaput DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang