Bab 3

2K 28 0
                                    


Oleh Ayra N Farzana

“Icha.”

Aku memeluk sahabatku itu. Kami lantas duduk di belakang sekolah, menghadap ke arah utara, memandang hamparan lapangan bola yang luas.

“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Icha.

“Aku juga tidak tahu Cha. Azam meninggalkanku begitu saja.”

Aku menceritakan pada Icha. Kronologi malam pertama kami yang berakhir tragis. Malam yang seharusnya kami bersama untuk memadu kasih, justru menjadi akhir tragis pernikahan kami. Entahlah, bagaimana hubungan kami selanjutnya akan berlanjut atau tidak. Aku hanya bisa pasrah pada Allah SWT, apa pun kehendaknya aku akan menerimanya dengan lapang dada.

“Iya, aku juga mendengar dari suamiku. Azam dua hari yang lalu bertanya pada Mas Fahrul, perihal bercak darah usai melakukan ritual malam pertama,” terang Icha.

“Lalu?” Aku memandang Icha penasaran.
Wanita itu menatapku. “Mas Fahrul pun menjelaskan pada Azam, jika, tidak semua wanita bisa mengeluarkan bercak darah saat malam pertama,” terang Icha.

“Maksudnya?” Aku memandang Icha.

“Selaput dara setiap wanita itu berbeda-beda ketebalannya. Selain itu, selaput dara juga sangat elastis, karena itu, tidak semua wanita mengeluarkan bercak darah usai melakukan ritual malam pertama. Kalau mau lebih jelas, Kamu bisa cari informasi di internet” Icha menepuk pendaku pelan.

Aku hanya menganggukkan kepala mendengar penjelasan Icha.

Aku berpikir, apakah Azam akan kembali saat dia mendengar penjelasan dari suami Icha? Akh ... sudahlah, aku tidak ingin terlalu berharap pada Azam.

Bel masuk pun terdengar.

“Yuk, sudah waktunya kita mengajar. Tarik napas panjang lalu, hembuskan agar kamu lebih rileks.”

Aku pun melakukan anjuran Icha. Walau bagaimana pun, aku harus tetap semangat dalam mengajar. Jangan sampai masalah yang sedang terjadi  akan mempengaruhi  kualitas mengajar.

***

“Ya, ampun.” Bu Denok memandangku yang baru saja masuk ke dalam kelas, usai mengajar. “Bikin malu aja. Kamu tuh  tugasnya membimbing anak-anak untuk memiliki budi pekerti yang baik, eh ternyata, Kamu justru melakukan perbuatan yang luckn*t. Astagfirullah, amit-amit jabang bayi.” Bu Denok memukul-mukulkan jarinya di atas meja.

“Bu Denok, mbok ya jangan begitu. Kalau Njenengan (Kamu) belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jangan menyebar fitnah sembarangan,” bela Icha yang baru masuk. Dia merangkulku.

Kami pun berjalan beriringan, menuju meja kerja kami yang terletak saling berdekatan.
Mata Bu Denok, intens menatap kami. “Halah! Lha wong sudah jelas gitu kok.” Dia berbicara dengan bibir yang dibuat-buat.

Rasanya ingin sekali aku membalasnya. Namun, itu justru akan menambah masalah. Akhirnya, aku hanya bisa beristigfar, mendengar cacian Bu Denok.

Caci-maki orang-orang memang sudah menjadi santapanku setiap hari, sejak Azam pergi pada malam pernikahan kami. Akan tetapi, aku terus bersabar dan yakin jika Allah suatu saat akan memberikan yang terbaik bagi hambanya.

“Kalau ngomong, lambemu tuh di jaga. Jangan asal jeplak kaya gitu. Tiap hari kerjanya menghujat orang melulu. Eleng, apa yang kamu lakukan itu dosa, Bu Denok,” tegur Bu Sarah.

“Iya Bu Denok. Jangan asal bicara kalau tidak tahu yang sebenarnya. Punya lisan itu harus dijaga,” sindir Bu Retno.

“Iya Bu Denok, seperti kandungan isi QS Al-Hujarat :12 yang berbunyi, wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mengintip atau mencari-cari kesalahan dan aib orang lain; dan janganlah kamu mengumpat sebagian  yang lain. Apakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. (Oleh karena itu, jauhilah larangan-larangan tersebut) dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” Pak Wahyu yang sedari tadi mendengarkan, ikut buka suara.

“Nah lo, Bu Denok. Dengar sendirikan apa kata Pak Wahyu? Ndang tobat, Bu Denok. Kalau enggak bakal dower  tuh bibir!” Bu Sarah menunjuk bibir tebal Bu Denok.

Wanita yang sedang dibicarakan itu tampak merengut tidak suka.

“Astagfirullah ....” Pak Wahyu menggelengkan kepala. “Emak-emak kalau kumpul ya begini ini, umbrus saja,” tegur Pak Wahyu.

Akhirnya semua yang ada di dalam ruangan diam dan kembali mengerjakan aktivitas masing-masing.

***

Pulang mengajar, Icha mengajakku untuk mampir ke rumahnya. Dia memintaku untuk membantunya membuat kue ulang tahun. Kebetulan hari ini adalah ulang tahun suami Icha.

“Tapi setelah selesai, aku pulang, ya.”

Aku tidak mau berlama-lama di rumah Icha. Biasanya bila ada acara, seperti hari ini, Azam pasti akan datang ke rumah mereka.

“Baiklah.”

Aku dan Icha pun menuju ke rumahnya, mengendarai motor masing-masing.
Rumah Icha dengan sekolah, berjarak sekitar dua kilometer. Hanya memerlukan waktu lima belas menit untuk tiba ke sana.

***

Setibanya di rumah Icha, kami langsung menuju dapur. Icha mengambil segala bahan untuk membuat kue.

Aku membantu Icha mengaduk telur dan gula menggunakan mikser. Sedangkan Icha bertugas memasukkan bahan-bahan. Seperti, margarin, tepung, dan bahan lainnya. Setelah semua bahan tercampur, adonan yang dibikin tadi, dimasukkan ke dalam loyang, lalu panggang.

Aku dan Icha duduk di meja makan sembari menunggu kue matang. Di hadapan kami terhidang jus jeruk serta kue gemblong yaitu, kue yang terbuat dari bahan ketan yang dimasak lalu ditumbuk halus dengan parutan kelapa yang dikukus. Cara makannya dengan menuangkan ereh atau saus yang terbuat dari santan. Kue tersebut merupakan kue favoritku.

Kami pun berbincang sambil menikmati gemblong.

“Assalamualaikum.” Tak berselang lama kami bercengkerama, terdengar seorang pria mengucapkan salam.

Dari suaranya, sepertinya itu suara suami Icha. Gegas Icha ke depan untuk membuka pintu.

Tak berselang lama, Icha kembali menghampiriku yang masih duduk di dapur. Bersamaan dengan kehadiran Icha di dapur, terdengar juga suara dua pria yang sedang berbincang. Aku sangat mengenal suara itu.

“Kembalilah, padanya. Dia tidak seperti yang kamu pikirkan.” Sayup-sayup terdengar Fahrul sedang menasihati pria yang sedang bersamanya.

“Tidak, aku tidak sudi kembali dengan wanita yang tidak bisa menjaga kehormatannya.”
Aku sangat mengenal suara itu. Pria yang sedang bersama Fahrul di depan adalah Azam.

Napasku terasa sesak, mata juga ikut memanas, mendengar perkataan pria itu.

Bersambung .... 

Yang mau next kilat bisa ke KBM aplikasi. Cerita ini juga tersedia dalam versi cetak. Yang berminat bisa chat saya

 Yang berminat bisa chat saya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Malam Pertama Tanpa Selaput DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang