Bab 7

1.4K 25 0
                                    


“Kamu sudah menjatuhkan talak satu padaku. Apakah kita bisa kembali bersama?” aku memandangnya.

“Bisa. Aku sudah menanyakannya pada Ustaz Abdul. Dia bilang, bila baru mengucapkan talak satu. Kita bisa kembali bersama tanpa akad yang baru,” terangnya.

Dia lantas menjelaskannya. “Jika seorang suami menalak istrinya dengan talak satu atau talak dua, maka ia berhak rujuk kepadanya selama masa idahnya belum habis. Jika masa idah telah habis maka sang suami boleh menikahinya dengan akad yang baru.” (Lihat: Abu Syuja, al-Ghâyah wa al-Taqrîb, Alam al-Kutub, tt., hal. 33).  

“Baiklah, kalau begitu, aku akan ikut bersamamu.”

Akhirnya aku memutuskan untuk ikut bersamanya. Paling tidak sampai anak ini lahir. Aku tidak ingin janin dalam kandungan ini, lahir tanpa seorang ayah. Malam itu juga aku mengemas barang yang akan dibawa.

***

“Nduk, apa kamu yakin?” Ibu mendekatiku yang sedang memasukkan beberapa helai baju ke dalam tas.

Aku menghentikan aktivitasku sejenak. “Iya, Bu. Tidak ada pilihan lain, dari pada orang-orang kembali menghinaku. Lebih baik aku ikut bersamanya. Paling tidak sampai anak ini lahir.” Aku menyentuh perutku yang masih rata.

“Nduk, ibu kok enggak rela, Kamu ikut sama Azam.” Ibu terus saja menangis. Dia terlihat sangat berat melepasku bersama Azam. “Ibu khawatir dia memperlakukanmu dengan buruk.”

“Insya Allah, Adiba bisa jaga diri, Bu.” Aku memegang tangan Ibu. Meyakinkan pada wanita itu, jika aku pasti akan baik-baik saja.

“Ibu dengan sendiri kan, Azam tadi sudah berjanji tidak akan kembali menyakiti, Adiba.”

“Iya, Nduk.” Bapak masuk ke dalam kamar yang bernuansa merah muda milikku. Dia berjalan mendekati kami. “Bapak juga waswas jika kamu ikut dengan pria itu.”

“Jangan khawatir, Pak, Bu.” Aku menatap mereka bergantian. “Adiba pasti akan menjaga diri.”

“Nanti kalau ada apa-apa jangan lupa telepon bapak dan ibu ya, Nduk! Kalau dia kembali menyakitimu, lekaskah pulang. Pintu rumah Bapak dan Ibu selalu terbuka untukmu,” perintah Bapak.

Dua puluh tahun lebih mereka merawat dan membesarkanku. Namun, hari ini mereka harus rela melepaskanku untuk bersama pria yang sudah menyakiti hati kami.

Aku pun keluar kamar bersama Bapak dan Ibu. Mereka mengantarkan kepergianku hingga ke teras.

“Hati-hati ya, Nduk.” Bergantian Bapak dan Ibu memelukku.

“Ayo!” ajak Azam. Dia meraih tanganku dan membawakan tas yang berisi pakaian milikku.

Mungkinkah ini pertanda baik untukku? Jika Azam akan memperlakukanku dengan baik.
Aku berjalan beriringan dengannya menuju mobil. Azam juga membukakan pintu mobil untukku.

Sebelum masuk ke dalam mobil. Aku memandang Bapak dan Ibu yang terus saja menitikkan air mata. Aku lantas tersenyum pada mereka dan masuk ke dalam mobil.

***

Selama perjalanan tidak ada obrolan di antara kami. Azam pun tak pernah menatapku, walau sebentar saja. Dia hanya fokus menatap ke jalanan.

Perjalanan menuju ke rumah Azam tidak begitu jauh. Hanya kurang dari tiga puluh menit, kami tiba di rumahnya.

Mobil yang kami tumpangi akhirnya masuk ke halaman sebuah rumah sederhana. Halaman rumah itu tampak gersang, tidak ada tanaman apa pun  yang menghiasi rumah Azam.
Azam turun  duluan. Dia lantas beralih ke sisi mobil satunya untuk membukakan pintu untukku. “Ayo turun,” pintanya.

Malam Pertama Tanpa Selaput DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang