"Adiba.” Azam masuk ke dalam kamarku saat aku sedang berbaring. “Pulang,” ajaknya.
Awalnya aku tetap berbaring, pura-pura tidur, dan tak menggubris perintahnya.
“Adiba.” Dia memanggilku dengan suara lebih keras.
“Hem ....” Aku malas berbicara padanya. Pasti ujung-ujungnya ribut.
“Adiba.” Dia mengguncangkan tubuhku
.
“Apa sih?” Aku membalikkan badan, memandangnya tak suka.“Pulang!” Dia mengulurkan tangannya.
Aku beringsut bangun dan duduk menatapnya. “Aku tidak mau. Kamu memang tadi tidak dengar, apa kata dokter? Aku tidak boleh stres dan harus beristirahat.”
Aku menjelaskannya, kalau aku lebih nyaman berada di rumah ibu. Bersamanya aku merasa stres. Bagaimana tidak stres. Setiap hari Azam memperlakukanku dengan seenaknya.
Dia juga membawa wanita lain pulang ke rumah. Hati istri mana yang tak tahan melihatnya. Apalagi, tadi pagi dengan seenaknya pria itu meninggalkanku di rumah sakit hanya demi pacarnya. Sekarang dengan seenaknya Azam memaksa untuk pulang.
“Aku tidak peduli dengan kata dokter. Yang aku mau, kamu pulang ke rumah sekarang.”“Enggak. Aku mau di sini aja!”
“Baiklah kalau kamu mau di sini. Akan tetapi, jangan harap aku akan mengakui anak dalam kandunganmu itu!” Azam menunjuk perutku.
Lagu-lagi Azam mengancamku.“Terserah kamu! Bukankah sedari awal pernikahan, Kamu sudah tidak menerimaku. Ada atau tanpa dirimu bagiku sama saja!” Aku menatapnya.
Biarlah tanpa atau adanya dirinya. Aku akan tetap merawat janin dalam kandungan ini. Dia tidak bersalah dan tak tahu apa-apa.
“Kalau sudah tidak ada yang ingin kamu bicarakan, silakan!” Aku menunjuk ke arah pintu.
“Keterlaluan Kamu, Adiba!” Azam tampak sangat murka. Bisa dilihat saat dia mengepalkan kedua telapak tangannya.
“Kamu yang keterlaluan, karena sudah memperlakukanku dengan seenaknya. Mana ada suami yang membawa pulang pacarnya ke rumah. Seandainya kamu yang ada di posisiku pada saat itu. Bagaimana perasaanmu?” Aku menunjuk Azam. “Apalagi, Kamu mengatakan aku ini seorang pembantu di hadapan pacarmu itu. Kamu tahu, bagaimana rasanya? Sakit.” Aku menunjuk ke dadaku sendiri.
Mendengar segala keluhku Azam hanya diam terpaku.
“Salahku apa sebenarnya padamu, hah? Apa hanya aku tak mengeluarkan selaput dara saat malam pertama? Omong kosong apa yang kami buat, Azam! Banyak di luar sana, wanita yang tidak mengeluarkan darah saat malam pertama. Apa suami mereka meninggalkannya? Tidak, Azam. Tidak!” Aku menggelengkan kepala.
“Semua kulakukan karena aku membencimu, Adiba. Aku sangat membencimu!” Azam menunjukku, sebelum pergi dari keluar. Azam menutup pintu dengan keras.
“Benci? Memang salah apa aku ini hingga kamu membenciku? Kalau kamu membenciku, kenapa kamu menikahiku?” Aku memandang Azam yang masih berdiri, gusar.
“Karena aku ingin menyakitimu!” Belum aku kembali bertanya. Azam sudah keluar meninggalkan ruangan.
Benci? Kenapa dia bisa membenciku. Kami baru saja saling mengenal dan langsung menikah. Kesalahan apakah yang aku perbuat padanya, hingga dia sangat membenciku.
“Ada apa, Nduk?” Ibu menghampiriku yang sedang menangis di atas tempat tidur.
Melihat keadaanku, lekas Ibu membawa tubuhku dalam dekapannya.“Yang sabar ya, Nduk. Pasti badai akan segera berlalu.” Ibu membelai rambutku.
***
“Sudah berapa bulan, Bu, usia kehamilannya?” tanya Bu Retno saat aku sedang duduk menunggu jemputan sambil membaca buku di sofa yang terletak di depan kantor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Malam Pertama Tanpa Selaput Dara
Любовные романыKisah Adiba yang ditalak pada malam pertama.