“Sah ...?”
“Sah ....”
Lantunan doa menggema ke seluruh sudut ruangan yang digunakan untuk acara ijab kabul kami.
Aku memandang Azam—pria yang sudah sah menjadi suamiku. Aku lantas menengadahkan tangan, mengaminkan doa penghulu yang bertugas menikahkan kami, pagi itu. Dua orang saksi duduk di belakang kami beserta tamu undangan lainnya.
Selesai berdoa, Azam menyematkan cincin di jari manisku. kami pun menandatangani dua buku kecil, berwarna hijau dan cokelat di hadapan kami.
Usai menanda tangani buku nikah Azam, mengulurkan tangannya. Ini kali pertama kami bersentuhan secara langsung. Tanganku bergetar hebat saat akan menyentuh tangannya. Melihat hal itu, Azam meraih tanganku. Ragu aku mencium punggung tangan pria itu.
***
Hubunganku dan Azam bermula, Saat kami tanpa sengaja bertemu Pada acara pernikahan Icha—teman kerjaku. Kebetulan suami Icha adalah teman kerja Azam.
Enam bulan, saling mengenal, akhirnya kami pun memutuskan untuk menikah, karena aku merasa Azam merupakan pria yang tepat untuk menjadi imam. Selain baik hati, ramah, dia juga selalu bersikap dewasa dalam mengambil keputusan.
Icha sering memuji kepribadian Azam. Menurut wanita itu, selain baik, Azam juga merupakan pria mandiri. Dia tidak pernah mengandalkan harta kedua orang tuannya. Setiap apa yang diinginkannya, pria itu selalu mengusahakannya sendiri.
Aku dan Azam memang jarang bertemu, kami hanya sekedar saling mengenal saja. Kebetulan kami sering bertemu di rumah Icha. Biasanya kami bertemu di rumah Icha, ketika ada keperluan atau pertemuan saja.
Tepat sebulan lalu, dia mengutarakan perasaannya padaku. Aku pun menerimanya dan pada akhirnya kami pun menikah.
***
Usai ijab kabul, siangnya acara resepsi pernikahan diadakan. Resepsi pernikahan kami hanya dilakukan secara sederhana dengan mengundang saudara, kawan, dan tetangga terdekat saja.
Aku menggunakan gaun pengantin berwarna putih gading dalam acara resepsi pernikahan, sedangkan Azam menggunakan tuksedo senada.Keluarga kami yang wanita menggunakan, gamis brokat berwarna coklat, sedangkan yang pria menggunakan beskap berwarna hitam. Kebetulan resepsi diadakan menggunakan adat jawa.
Aku dan Azam berdiri di atas singgasana pengantin, diapit kedua orang tua masing-masing. Tamu undangan, bergantian memberikan ucapan selamat pada kami.
Beberapa kali Azam memandangku. Senyum merekah, tak lepas dari wajahnya. Aku pun balas tersenyum padanya.
***
Malam selepas resepsi, aku masuk ke dalam kamar, mandi dan membersihkan badan. Selesai mandi ternyata Azam sudah duduk di tepi ranjang. Untung saja aku sudah membawa baju ganti ke dalam kamar mandi.
“Mas, enggak mandi dulu?”
Dia tersenyum memandangku. Merasa malu, aku menundukkan pandangan.
“Iya.” Azam bangun, beranjak menuju ke kamar mandi. Namun, tiba-tiba dia menghentikan langkah saat tiba di ambang pintu. “Oh iya, handuknya mana?”
“Sebentar, Mas.” Aku bergegas mengambilkannya handuk baru dari dalam lemari. “Ini, Mas.”
Selepas mandi kami pun melakukan Salat Isya berjamaah.
Usai salat, aku duduk di depan meja rias. Sedangkan, dia keluar kamar sebentar, karena ada sahabatnya yang datang.
Aku pun duduk di meja rias untuk memakai krim malam sebelum tidur dan menyisir rambut.
Tak butuh waktu lama, Azam kembali ke kamar.
“Adiba.”
Dia berjalan mendekat dan menyentuh bahuku. Aku merasakan dada bergetar kencang, tubuh pun berguncang.
Aku lantas mendongak, menatap pria dengan kumis tipis yang berdiri di belakangku. “Iya.”
Tanpa banyak bicara, Azam meraih tanganku, dia membimbingku untuk berdiri. Seketika kedua tangannya meraih tubuhku, mengendongnya, menuju ranjang dan melakukan ritual malam pertama.
***
“Jujur padaku siapa yang melakukannya,” teriak Azam.
Pria itu murka saat tak menemukan bercak darah usai melakukannya. Aku benar-benar tak tahu kenapa itu semua terjadi.
Sebelumnya, aku belum pernah tersentuh oleh pria lain, hanya dia satu-satunya pria yang menyentuhku.
“Demi Allah, aku tidak pernah melakukannya dengan pria mana pun.”
Hatiku begitu sakit, mendapat tuduhan sehina itu. Malam yang seharusnya menjadi malam terindah untukku, justru menjadi malam yang paling menyedihkan dan memalukan untukku.
“Bohong! Buktinya tidak ada bercak darah usai melakukannya,” marahnya.
Pria itu terus saja menghardikku.
Aku hanya menangis, menanggapi tuduhan yang tidak aku lakukan.
Mendengar keributan di kamarku. Kedua orang tuaku, mengetuk pintu.
“Malam ini juga, aku akan membicarakan hubungan kita pada orang tuamu. Aku tidak ingin mempunyai istri yang tidak bisa menjaga kehormatannya.” Azam memandangku murka dengan mata merah menyala. Dia pun berjalan untuk membuka pintu.
Ibu menghampiriku yang tertunduk lesu di tepi ranjang. “Ada apa, Nduk?” tanyanya.
Aku hanya bisa menangis, tanpa menjawab pertanyaan ibu.
“Ada apa ini, Nak Azam?” Bapak bertanya pada Azam yang berdiri tak jauh dariku.
“Anak Bapak, sudah tak perawan,” tegasnya.
Hatiku terkoyak mendengar ucapan Azam.
“Apa itu benar, Nduk?” Bapak beralih memandangku.
Aku menggelengkan kepala. “Itu tidak benar, Pak. Aku belum pernah melakukannya dengan siapa pun,” elakku.
“Ibu percaya sama Adiba. Dia anak baik, tidak pernah neko-neko. Teman pria pun dia tidak punya,” bela Ibu. Ibu lantas memelukku. “Sudah, jangan menangis.” Dia membelai punggungku.
“Alah! mana ada maling mengaku!” hardik Azam.
Pria yang berada di hadapanku, tidak seperti Azam yang aku kenal selama ini. Pria yang aku kenal, santun dan baik itu, dalam sekejap berubah 180 derajat.
Entah dosa apa yang aku perbuat padanya. Hingga dia tega menuduhku seperti itu.
“Malam ini juga, aku talak kamu, Adiba!”
Azam meninggalkanku yang masih terisak di pelukan ibu. Dia pergi membawa tas ransel berisi pakaiannya yang dibawanya saat seserahan kemarin.
Beberapa saudara dan tetangga yang masih berada di rumah kedua orang tuaku, mengintip kami, dari balik pintu. Mereka memandang kepergian Azam dengan penuh tanya.Cerita ini ada dua versi tamat.
Versi KBM App dan Novel. Yang minat Novel bisa inbok akun fb Ayra N Farzana
KAMU SEDANG MEMBACA
Malam Pertama Tanpa Selaput Dara
RomanceKisah Adiba yang ditalak pada malam pertama.