Bab 2

3.4K 31 0
                                    


Setelah Azam keluar dari kamar. Bapak bergegas menutup pintu dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi padaku.

“Adiba, apa benar yang dikatakan Azam tadi?” Bapak memandangku penuh amarah.

“Demi Allah, Pak. Adiba tidak melakukan hal kotor itu.” Aku memandang Bapak, meyakinkan padanya jika semua yang didengarnya tidak benar.

“Pak, Ibu  percaya sama Adiba. Dia tidak mungkin melakukan hal kotor itu.” Ibu membelaku. Wajahnya wanita yang telah melahirkanku 23 tahun lalu itu, berurai air mata. “Ibu tahu betul bagaimana sifat, Adiba.”

“Lalu, kenapa bisa Azam bilang kamu tidak suci lagi?”  Napas Bapak tampak sesak.

Aku tahu, kejadian malam ini, akan menjadi aib, bagi keluarga kami. Pasti, esok hari semua orang akan memperbincangkannya.

“Adiba juga tidak tahu, Pak!”

Pacaran saja aku belum pernah, bagaimana bisa kesucianku ternoda? Apa semua karena akal-akalan Azam saja. Akan tetapi, untuk apa dia melakukannya. Toh, selama ini diantara kami, tidak pernah ada masalah.

“Apa Bapak tidak mempercayai putri Bapak sendiri?”

Mendengarnya napas Bapak semakin terengah. Aku tahu dia pasti merasakan sesak dalam dadanya.

“Istigfar, Pak,” ucap ibu melihat napas Bapak semakin terengah.

Ibu berjalan mendekati suaminya itu. Beliau, membimbing Bapak untuk duduk di meja rias, pelan wanita itu membelai dadanya pelan.

Berkali-kali, Bapak beristigfar, hingga Napasnya kembali normal.

“Percayalah, Adiba tidak mungkin melakukan hal kotor itu. Bapak tahu sendirikan, bagaimana pergaulan, Adiba.” Ibu berusaha meyakinkan Bapak.

Bapak pun menganggukkan kepala. “Maafkan Bapak karena sudah tidak mempercayaimu, Nduk,” ucapnya setelah nafasnya kembali teratur. “Bapak terlampau takut, jika orang-orang membicarakan kita. Apalagi dengan adanya kejadian ini, pasti akan cepat tersebar dari mulut ke mulut,” terang Bapak.

“Semoga saja, hal yang dikhawatirkan tidak akan terjadi, Pak,” ucap Ibu.

Setelah situasi kondusif, Bapak dan Ibu pun beranjak meninggalkan kamarku. Namun, saat mereka keluar tampak beberapa keluarga dan tetangga, masih berdiri di depan kamar. Mereka pasti penasaran dengan apa yang sedang terjadi.

***

Keesokan harinya, para tetangga saling berbisik memandangku saat aku sedang, menyapu halaman, membersihkan sisa resepsi pernikahan kemarin. 

Pagi itu, mereka sedang menunggu tukang sayur langganan mereka lewat. Sudah menjadi kebiasaan mereka, menunggu tukang sayur, sekaligus saling bertukar informasi atau bergosip.

Aku tahu, mereka saat ini pasti sedang membicarakan kejadian semalam. Aku bisa melihat dari cara  mereka memandangku.
Bu Susi, Bu Mona, dan Bu Siti berjalan menghampiriku.

“Adiba, mana suaminya? Kok enggak kelihatan sih?” tanya Bu Susi.

“Apa suaminya kabur, ya, saat malam pertama,” cibir Bu Mona.

Malu, itulah yang saat ini aku rasakan. Jarang, ada wanita yang ditinggalkan pada malam pengantin. Bila ada, mereka pasti menjadi bulan-bulanan para tetangga.

“Bu Susi, kaya enggak tahu aja. Pengantin baru, jam segini pasti masih tidur. Bu Mona jangan asal tuduh, ya. Malam pertama itu, malam yang paling dinantikan oleh pengantin baru. Mana mungkin suaminya kabur,” timpal Bu Siti.

“Ups.” Bu Mona menutup mulutnya dengan tangan. “Kirain aja! Soalnya sudah jam segini kok suaminya enggak kelihatan. Padahal Adiba, sedang sibuk menyapu sendirian,” goda Bu Mona. “Biasanya tuh, ya. Kalau pengantin baru, bangunnya siang. Mereka suka berlama-lama di kamar.”

Malam Pertama Tanpa Selaput DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang