ARTA
SETELAH sibuk maksimal menyiapkan segala keperluan masing-masing dan membantu keperluan Dhea, akhirnya kepadatan itu usai. Aku bersumpah hari ini Dhea jadi perempuan paling cantik sejagat. Gaun putih yang membalut tubuhnya, hari ini terlihat bagai gaun putri yang pernah diidam-idamkan semua anak perempuan saat masa kanak-kanak. Termasuk aku.
Berkali-kali aku terpana ketika melihat Dhea melangkah di karpet merah yang digelar rapi di tengah ruangan. Di tangannya ia genggam sebuket bunga mawar putih. Veil panjang transparan yang menutupi setengah wajahnya, menjuntai panjang ke belakang, jadi ekor gaun yang lagi-lagi membuat semua orang takjub memandanginya.
Di seberang tempatku berdiri, ada beberapa anak laki-laki. Jaka dan Pandu salah duanya. Bahkan kuperhatikan mereka tak memalingkan wajah. Padahal, di tangan Jaka kulihat segelas sirop sedari tadi belum ia teguk. Laki-laki itu justru lebih sibuk memandangi istri orang. Sama, sih, denganku. Sedari tadi aku memandangi laki-laki yang berbalut kemeja putih dan jas kelabu itu. Gemas sekali melihat teman-temanku mengenakan jas seragam, padahal seingatku setengah jam lalu mereka masih mengenakan batik biru dongker.
"Ar."
Kemudian satu suara yang tidak asing jadi satu-satunya hal yang membuyarkan lamunanku ketika menyaksikan Jaka dan Pandu yang sedang takjub menyaksikan Dhea melangkah bersama Adnan.
"Iya?" responsku pada Javas yang sedari tadi berdiri di sebelahku. Kami juga sedari tadi bergandengan tangan. Sibuk menyaksikan Dhea yang sedang jadi sorotan seisi ruangan. "Kenapa?"
Senyum Javas mengembang, lebar sekali. Satu senyum yang pernah, dan paling memungkinkan untuk selalu membuatku jatuh hati berkali-kali padanya. "Nggak apa-apa. Just want to make sure kamu masih sadar untuk nggak terlalu ngelihatin pengantin."
Senyumku ikut mengembang. Kutatap wajahnya, matanya yang menyorot lurus ke arahku, penuh teduh. "Hampir hilang sadar," kataku. "She's totally gorgeous, Vas. Aku belum pernah lihat Dhea mendadak jadi perempuan paling cantik di dunia."
Masih dengan sisa senyumnya, Javas mengangguk-angguk. Kali ini ia terkekeh samar-samar. "Kamu juga akan jadi perempuan paling cantik di dunia. Satu hari untuk semua orang, selamanya untuk aku," ungkapnya.
Entah kini semerah apa wajahku, tapi yang pasti, aku tidak bisa menyembunyikannya. Senyumku kini sudah mengembang lebar sekali, hampir salah tingkah dibuatnya. Pun, senyum Javas bertahan di wajahnya. Sepertinya ia puas sekali sudah sukses merayuku pagi ini.
Pokoknya, hari ini, entah kenapa selain Dhea, perhatianku selalu tertuju pada laki-laki berbalut jas abu-abu yang mengenakan dasi kupu-kupu berwarna senada. Jangan salah paham. Aku bukan masih mencintainya seperti dulu. Hanya saja, entah kenapa kini rasa kagum memenuhi benakku.
Jika sikapnya saja tidak pernah berubah sejak hari pertama kami menjabat sebagai Ketua dan Wakil Ketua OSIS, maka....
Astaga, Arta!
"Vas, mau es krim, nggak?" tanyaku segera pada laki-laki yang sedang kupeluk lengannya. Dekapanku mengerat. Sebisa mungkin kualihkan perhatianku dari laki-laki yang masih menggenggam gelas yang sama sedari tadi, dengan sirop yang masih sama penuhnya pula.
Menanggapi keinginanku, Javas mengangguk. Kami segera beranjak dari posisi berdiri, menuju pojok kiri ruangan untuk menikmati es krim vanila yang kuambil secara acak dari gerai es krim.
+ + +
BERKAT Jaka, hari ini aku jadi yakin sepenuh hati untuk memberikan keputusan akhir dari pertimbangan panjangku. Kutemui Rafhi setelah mata kuliah report writing. Kami janjian di kantin belakang, dan Rafhi datang sepuluh menit sebelum aku hadir di meja yang ditempatinya. Kelihatannya sih, Rafhi siap sepenuh raga menyambut keputusanku. Padahal, aku datang dengan lesu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TJS 3.0] Jakarta: Welcome Home
Teen Fiction[The Jakarta Series 3.0] Tahun demi tahun berlalu sejak kandasnya hubungan Jaka dan Arta. Dengan berakhirnya masa sekolah, maka berakhir pula tanggung jawab mereka sebagai Ketua dan Wakil Ketua OSIS. Jaka dan Arta memulai hidup masing-masing, dengan...