ARTA
"ARTA."Langkahku yang tergesa-gesa seketika terhenti. Aku membalikkan badan, menatap Rafhi yang berdiri tepat di belakangku sambil menyodorkan flashdisk dengan strap hitam dan gantungan kecil bertuliskan Hong Kong. "Fail proposal dari Siska, dia udah lengkapin fail dari angkatan atas juga."
"Oh," responsku singkat sambil tersenyum tipis. "Oke. Thank you, Fhi. Nanti gue cek dulu, ya."
Rafhi mengangguk. Aku menerima flashdisk dari tangannya. Kami kemudian berpisah sebab jalan ke lain arah. Aku kembali melangkahkan kaki, meninggalkan sekretariat BEM yang baru saja kusinggahi dengan Rafhi.
Tiba di mobil Javas, segera aku menarik seat belt. Kuistirahatkan segala pikiranku sejenak. Kuarahkan pendingin ruangan agar lurus ke wajahku, berharap benda itu sanggup mendinginkan pikiranku yang mulai tak keruan. Penuh dengan segala hal mengenai PKKMB.
"How is it?"
"All good. Beberapa surat menyurat udah clear. Proposalnya juga udah tinggal rencana anggaran biaya sama rundown. Aman lah untuk sebulan ke depan sampai Pra-PKKMB," terangku. "Siska positif covid. Dia isolasi di wisma atlet. Jadi, untuk sementara, aku yang take over jobdesc dia."
Javas mengangguk-angguk pelan. "I'm sorry to hear that. Kalau ada apa-apa, kamu bisa bilang sama aku, Ar. Barangkali aku bisa bantu kamu, or at least, aku bisa nyuruh Mila buat arahin kamu. Dia juga dulu sekretaris."
Senyumku mengembang menyambut perhatian kecil tersebut. "Iya, makasih ya, Vas."
"Don't mention it," katanya sambil mengusap puncak kepalaku dengan lembut. "Ready?"
Aku mengangguk, seolah memberikan Javas izin untuk segera tancap gas keluar dari kawasan kampus.
+ + +
HAMPIR setiap hari tanpa ada absen, aku menghubungi ketua divisi untuk melapor progres pekerjaannya. Apa saja yang sudah rampung, kesulitan apa yang dihadapi, apa saja yang masih belum sempat digarap, semua hal selalu kutanyakan. Dengan begitu, setidaknya aku sudah mendampingi teman-temanku untuk menyelesaikan segala hal sesuai dengan tenggat waktu yang sudah ditentukan bersama.
Selain mengabsen hampir tiap hari, aku pun hampir tiap pekan datang ke kampus. Banyak sekali fail yang kubutuhkan dan hanya bisa kudapatkan di sekretariat BEM. Aku sadar sepenuhnya bahwa apa yang kulakukan berisiko lumayan tinggi, tapi aku benar-benar terpaksa harus datang ke kampus.
Hari ini pun sama. Aku baru saja ke kampus untuk rapat bersama panitia inti. Mendadak, datang ke kampus rasanya harus ditempuh dengan jarak jauh sekali. Tapi aku punya Javas. Laki-laki itu selalu ada bersamaku, mengantar jemput tiap kali aku harus ke kampus, bahkan di tengah kesibukannya masih mencicil penyusunan skripsi.
"Sebentar ya, Ar, aku mau beli minum." Berbarengan dengan dibukanya pintu mobil, Javas berujar. Aku mengangguk, memilih untuk menunggu di mobil. "Mau nitip sesuatu?"
Aku menggeleng.
Dalam sepuluh menit, Javas sudah kembali dengan dua botol air mineral. Satu untuknya, dan satu untukku. Kami tidak bicara apapun, Javas langsung menarik seat belt menyilangkan dadanya, lalu membawa mobil yang kami tumpangi untuk gegas meninggalkan lahan parkir kampus yang kosong.
"Ar," panggilnya di tengah perjalanan kami yang sunyi. Aku menoleh ke arahnya. Kutunggu sampai laki-laki itu berucap lagi dengan wajah semringah, "Have you ever think of marriage before?"
Aku diam, mengernyitkan kening. Dalam hati sudah kujawab duluan pertanyaan itu. Aku pernah memikirkan dan membayangkan sesuatu mengenai pernikahan, tapi dulu sekali, sebelum bertemu dan mengenal Javas. "Why?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[TJS 3.0] Jakarta: Welcome Home
Teen Fiction[The Jakarta Series 3.0] Tahun demi tahun berlalu sejak kandasnya hubungan Jaka dan Arta. Dengan berakhirnya masa sekolah, maka berakhir pula tanggung jawab mereka sebagai Ketua dan Wakil Ketua OSIS. Jaka dan Arta memulai hidup masing-masing, dengan...