ARTA
PANJANG ceritanya kalau kujabarkan kenapa aku bisa sampai di Jogja dan memutuskan untuk datang ke kampus Jaka. Setelah kemarin lalu aku meninggalkan Javas di kedai kopi, aku datang ke rumah Jaka. Mas Haris yang membukakan pintu, dan laki-laki itu berkata bahwa Jaka sudah kembali ke Jogja. Alhasil, aku pulang untuk memohon-mohon kepada Bunda, kubilang aku mau ke Jogja untuk berlibur sejenak dari karut-marut yang terjadi di Jakarta. Aku berjanji pada Bunda kalau aku tidak akan bepergian tanpa menaati protokol kesehatan. Entah berdiskusi apa dengan Ayah, akhirnya Bunda memberiku izin untuk pergi. Malam itu pula aku langsung packing, berangkat ke Jogja dengan bus yang memakan waktu sampai dua belas jam di perjalanan. Aku berangkat pukul tiga dini hari.
Kabar baiknya, aku mendapatkan apa yang kubutuhkan di sini. Jaka, dan ketenangan.
Setelah tadi aku sudah menceritakan banyak hal kepada Jaka dan laki-laki itu menjadi pendengar setia, kini kami memutuskan untuk beranjak. Aku harus segera cari hotel untuk bermalam. Kutunggu Jaka di tempat duduk yang sama sementara laki-laki itu pamit kepada teman-temannya untuk pulang duluan.
"Nggak apa-apa Jak, pulang duluan?" tanyaku begitu laki-laki itu kembali. Jaka hanya mengangguk sambil menarik koper yang kubawa. "Kalau masih sibuk, gue sendiri aja. Bisa naik ojek online."
"Nggak, Ar. Nggak apa-apa. Gue udah gede, tau mana yang harus lebih gue prioritasin," katanya.
Sejurus, langkahku berhenti. Aku memandangi punggung Jaka yang sedikit-sedikit semakin menjauh bersama koper kesayanganku. Mantra apa yang barusan keluar dari mulutnya itu? Kenapa jantungku harus berdebar-debar seperti tadi ketika ia memelukku?
Jaka, astaga!
"Heh, buruan bege! Keburu malam nanti ada penyekatan di jalan!" Jaka berseru. Ternyata dia sadar langkahku terhenti. Aku tersenyum kikuk, lalu mempercepat langkah untuk menyetarakannya. "Salting lo, ya, gue bilangin gitu?"
Jaka kenapa balas dendam?!
"Dih, najis!"
Segera, aku mendahului langkah Jaka. Kakiku mencak-mencak menyusuri jalan yang sepi, meninggalkan gedung Fakultas Ilmu Budaya. Jaka hanya tertawa puas menanggapi cemoohanku barusan. Begitu kami keluar dari gerbang utama Universitas Gadjah Mada, aku diam, menunggu Jaka yang masih beberapa langkah di belakangku.
"Kok diem? Nggak tau jalan, ya, Mbak?" ejek Jaka ketika langkahnya sudah sejajar denganku. Aku hanya mengerlingkan mataku, melihat wajah laki-laki itu ceria sekali. "Ke sini, Mbak, jalannya."
Jaka mendahului langkahku. Aku mengekorinya. Kami menyusuri gang kecil yang sepi. Hampir tidak ada orang yang lalu lalang kecuali kami. Sepanjang kaki melangkah, mataku menyapu pemandangan sekitar, melihat rumah-rumah yang berjajar di gang yang hanya muat dilalui satu mobil ini. Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, langkah Jaka terhenti tepat di depan rumah bercat putih dengan pagar pendek hitam yang menjaganya.
Pagar tersebut Jaka buka. Sambil tetap menarik koperku di tangannya, ia jalan memasuki pelataran rumah tersebut. "Nuwun Sewu, Buk," ujar Jaka sambil mengetuk pintu kayu yang setengah terbuka. Tidak lama, seorang ibu berdaster putih dengan motif bunga-bunga biru, keluar, menyambut kedatangan Jaka. "Anu, Buk, Jaka mau pinjam motor, boleh?"
"Ya boleh, tapi mau ke mana to, Mas Jaka?" tanya ibu tersebut.
"Niki lho, Buk. Temen Jaka dari Jakarta, Jaka mau nemenin cari penginapan."
Keduanya serempak menoleh ke arahku, dan aku tersenyum dengan ramah. Aku belum tahu, sih, Ibu itu siapa. Tapi, sepertinya cukup dekat dengan Jaka sampai laki-laki itu berani pinjam motor demi mengantarku mencari penginapan untuk beberapa hari ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TJS 3.0] Jakarta: Welcome Home
Teen Fiction[The Jakarta Series 3.0] Tahun demi tahun berlalu sejak kandasnya hubungan Jaka dan Arta. Dengan berakhirnya masa sekolah, maka berakhir pula tanggung jawab mereka sebagai Ketua dan Wakil Ketua OSIS. Jaka dan Arta memulai hidup masing-masing, dengan...