JAKA
"DEK, piye kabare?"
Tiga kata itu sekarang jadi pertanyaan wajib gue untuk Ayu setiap kali kami terhubung di telepon. Sejak beberapa waktu lalu ketika pertama kali Ayu bercerita soal perjodohan yang diusung ibunya, gadis itu selalu mem-follow up kabar kepada gue meski gue nggak minta. Sedikit banyak, gue jadi tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Ayu, termasuk, malam ini gue akhirnya tahu alasan di balik kemauan Bu Ratih yang sangat mendadak ini.
"Dia baru aja pulang dari rumahku e, Mas," lapornya. Gue hanya bergumam, dan Ayu udah paham kalau itu artinya gue bersedia untuk tetap menjadi pendengarnya. "Walah, piye to, Mas, aku nggak bisa kabur."
"Kamu udah ngobrol ke Ibuk, Dek?"
Setelah diam selama beberapa detik lamanya, gue bisa mendengar Ayu berdesah berat. Gue tetap diam, lalu gadis itu memulakan ceritanya, "Sampun, Mas. Ya, kayak yang udah kuceritain ke Mas Jaka e. Ibuk tuh bilang, Mas, 'Nduk, Mas-masmu ini sudah menikah semua, Ibuk sudah tua. Ibuk cuma mau kamu ini ada yang dampingi. Ibuk nggak minta kamu menikah secepatnya to. Kamu kuliah, lulus, baru menikah. Sing penting, kamu kenal dulu dengan Mas Rama.' gitu, Mas. Walah, bingung aku lho, Mas, jawabnya. Mau tak tolak takut durhaka. Restu Ibu."
Gue geming. Jujur gue nggak tahu harus memberikan respons kayak gimana. Selain gue nggak pernah ada di posisi seperti Ayu, gue juga nggak tahu bagaimana respons Bu Ratih kalau Ayu menolak mentah-mentah. Ya, meskipun menurut gue, nggak ada salahnya kalau Ayu mau mencoba untuk menolak. Toh, menurut gue dia punya hak untuk menolak apa yang nggak mau dia lakukan.
"Dek, aku bingung," ungkap gue.
Di luar dugaan gue, Ayu tertawa. "Mas Jaka aja bingung, apalagi aku," katanya. Salah deh kayaknya. Gue makin bingung dengarnya. "Tapi ya nggak apa-apa e, Mas. Ngerti aku. Aku juga cuma mau didengerin sama Mas. Kan, Mas Jaka juga nggak akan bisa kasih saran dan nggak bisa bantu. Kecuali, Mas mau ngomong ke Ibuk."
Mendengar jawabannya yang pasrah, gue jadi ikut tertawa. "Iya juga, sih," ujar gue. Hanya itu yang bisa gue sampaiin ke Ayu. Gue sekarang total speechless dan clueless. "Kamu nggak mau kenalan dulu, Dek, sama dia?"
Duh, basa-basi banget gue, ya. Padahal gue sudah menebak jawaban yang akan Ayu berikan kepada gue.
"Belum sih, Mas. Dia punya nomorku, tapi nggak pernah kubalas chat-nya." Ungkapan tersebut Ayu akhiri dengan kekehan pelan. "Mas Jaka piye?"
"Apanya?"
"Kabare."
"Sehat, aku sehat. Aku nggak pernah ke mana-mana juga, sih, Dek," balas gue. "Kayaknya bulan Juli atau Agustus nanti aku balik ke Jogja, sih. Udah janjian sama Haikal juga."
"Karena mau PPSMB juga ya, Mas?"
"Iya. Walaupun bukan ketua pelaksana, tapi aku kan Ketua LEM, jadi nggak enak kalau aku nggak ada di kampus sama yang lain," terang gue. PPSMB adalah Pelatihan Pembelajar Sukses Mahasiswa Baru, semacam OSPEK, lah, kalau nama umumnya.
"Iya, sih. Hati-hati ya, Mas, kalau pulang ke Jogja."
Senyum gue entah dari mana muncul. Rasanya, perhatian kecil itu berharga sekali sekarang. Nggak peduli keluar dari mulut siapa.
+ + +
KELIHATANNYA, semenjak PSBB memasuki masa transisi, orang-orang sudah mulai keluyuran dan nongkrong di mana-mana dengan menerapkan protokol kesehatan. Jujur, gue latah juga, pengin keluar rumah untuk sekadar menghirup udara Jakarta yang sepertinya sudah nggak sesumpek dulu. Gue akhirnya memutuskan untuk benar-benar keluar dari rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TJS 3.0] Jakarta: Welcome Home
Teen Fiction[The Jakarta Series 3.0] Tahun demi tahun berlalu sejak kandasnya hubungan Jaka dan Arta. Dengan berakhirnya masa sekolah, maka berakhir pula tanggung jawab mereka sebagai Ketua dan Wakil Ketua OSIS. Jaka dan Arta memulai hidup masing-masing, dengan...