JAKA
GUE menghela napas. Udah lama sejak terakhir kali gue menghirup udara Jakarta yang berbeda dengan Jogja. Segera, gue menelepon Mas Haris untuk tahu di mana laki-laki itu parkir. "Mas, gue udah keluar pintu stasiun. Lo di mana?"
"Keluar aja dari stasiun. Gue tunggu di depan pasar, ya," balas Mas Haris. Gue hanya ber-ok ria sambil menarik koper, membawanya keluar dari stasiun Jatinegara sambil mendengarkan Mas Haris yang mendiktekan posisinya. Tak buang waktu lama, gue langsung menemukan mobil Mas Haris begitu tiba di titik yang disebutkan. Gegas, gue memasukkan koper ke bagasi belakang mobil, lalu masuk ke kursi kemudi di bagian depan.
"Piye kabare, Mas Jaka?" tanyanya begitu gue menutup pintu di sebelah kiri gue.
"Apaan sih, Mas," balas gue diiringi tawa. Laki-laki yang terpaut dua tahun di atas gue itu turut tertawa.
"Kok lo mendadak pulang sih, Jak? Aya naon, kitu?" Mas Haris bertanya lagi. Obrolan kami pun mengalir begitu saja seiring mobil yang ditumpangi melaju di sepanjang jalan menuju pulang. Gue bercerita singkat bahwa teman gue di OSIS akan menikah dalam waktu dekat, sehingga gue pulang untuk menghadiri acara pernikahannya.
"Udah main nikah aja," ujar Mas Haris diiringi kekehan pelan. "Temen seangkatan kuliah gue aja baru pada wisuda tuh minggu kemarin. Masih pada rewel-rewelnya karena wisuda nggak gandeng pacar."
Gue ikut tertawa. "Ya elah, Mas, namanya udah jodoh. Udah di depan mata, udah sama-sama siap, ya kenapa harus nunggu angkatan lo pada nikah dulu?"
Tawa Mas Haris semakin keras. Obrolan kami melebar hingga tiba di rumah. Sekilas, gue bertegur sapa dengan kedua orang tua gue, sebelum akhirnya pamit ke kamar dan mengistirahatkan diri sambil memberi kabar pada teman-teman bahwa gue udah tiba di Jakarta.
Semua antusias menyambut kedatangan gue. Lebay, sih, tapi ya udahlah. Toh, kita semua memang selalu saling kangen meskipun setiap tahun masih suka kumpul ketika libur kuliah dan lagi pada di Jakarta. Semenit kemudian, setelah agenda tukar kabar itu, Affan menelepon beberapa di antara kami melalui group video call. Ada Affan, ada Dhea, ada gue sendiri, dan ada Arta. Semuanya saling tumpang tindih melaporkan kabar masing-masing.
Lalu tanpa ada angin, Affan tiba-tiba mengusung ide, "Eh, nongkrong yuk! Udah lama nggak ketemu kalian, tau."
"Kan nanti ketemu di acaranya Dhea, Fan," balas Arta. Gue mengangguk, menyetujui respons Arta. "Nggak sekalian aja?"
"Duh, Ar, kalau cuma ketemuan pas acara, pasti nggak puas." Affan menyangkal. "Bener, nggak, Jak? Kan, pasti fokus ke acara. Kita nggak bisa ngobrol-ngobrol banyak. Lagian, itung-itung nongkrong terakhirnya Dhea sebelum dia diiket, kali. Ya kan, Jak? Lagian, mumpung Jaka ada di Jakarta."
Gue tertawa menanggapi argumen dia, tapi bolehlah. Gue setuju dengan Affan. Gue juga kangen berat sama temen-temen gue yang ini. Adanya cuma di Jakarta, sementara gue hampir nggak pernah pulang ke Jakarta kecuali memang ada hal-hal penting.
"Kangen sama Jaka lo, ya!" tukas Dhea.
"Kangen banget, nih!" Affan berujar. "Udah, pokoknya, besok malam kita nongkrong, oke? Nanti gue kabarin anak-anak yang lain, tenang aja."
Lama kami tersambung dalam video call. Tapi pada akhirnya, gue pamit duluan karena harus merapikan barang-barang di koper gue. Entah apa lagi yang mereka bicarakan setelah gue keluar dari telepon, tapi yang pasti, kini fokus gue udah teralihkan pada baju-baju yang memenuhi koper gue. Satu per satu gue keluarkan, gue masukkan ke lemari.
Sampai, gue baru tersadar satu hal. Ada yang kurang. Gue nggak membawa jas seragam yang Dhea kirimkan kepada gue ke Jogja. Sial, gue udah sampai di Jakarta, dan acaranya tiga hari lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TJS 3.0] Jakarta: Welcome Home
Ficção Adolescente[The Jakarta Series 3.0] Tahun demi tahun berlalu sejak kandasnya hubungan Jaka dan Arta. Dengan berakhirnya masa sekolah, maka berakhir pula tanggung jawab mereka sebagai Ketua dan Wakil Ketua OSIS. Jaka dan Arta memulai hidup masing-masing, dengan...