²⁴. duapuluh empat

17.7K 3.2K 1.4K
                                    

Saat aku ngebuat cerita ini, aku gak berharap banyak yang vote dan komen, tapi walau begitu gak ada salahnya kalian menghargai. Kalian gak sadar udah ngebuat seseorang tersenyum di balik layar ponselnya sambil bilang. "Wah, ternyata ceritaku disukai..."

Aku bilang ini bukan cuma untuk diriku sendiri. Untuk semua cerita yang kalian baca. Karna kita gak tahu, seberapa banyak penulis meluangkan waktunya untuk menulis. Jadi, mulai sekarang kalian harus lebih menghargainya. Seenggaknya kalau gak komen, kalian bisa dukung dengan cara vote. Terimakasih💛

1k komen, next??

~𝙝𝙖𝙥𝙥𝙮 𝙧𝙚𝙖𝙙𝙞𝙣𝙜~

Nuansa sunyi senyap di lab menjadi saksi bahwa Hana baru saja memeluk seorang Park Jay lebih dulu. Sekarang mereka duduk bersebelahan dengan atmosfer canggung. Ah tidak, sepertinya hanya Hana yang merasa begitu. Sebab Jay termenung sembari menatap jendela. Sorot wajahnya datar, pancaran matanya kosong. Dia juga tidak mengindahkan Hana yang sesekali menatapnya.

"Lo ... udah ngerasa lebih baik?" tanya Hana pelan, memecah keheningan di antara mereka.

Dalam hati Hana bertanya-tanya, sebenarnya ada masalah apa. Dia tidak pernah berurusan dengan seorang cowok sehingga tidak tahu salah satu penyebab yang bisa dijadikan praduga.

Tapi dilihat dari ekspresi cowok itu, sepertinya bukan masalah kecil.

Hana meyakinkan diri bahwa tidak apa mengatakan sesuatu yang bisa menghibur Jay. Dia memang tidak menyukai Jay, tapi dia juga tidak bisa bahagia di atas penderitaan cowok itu.

"Gue juga pernah punya masalah, tapi gue nggak pernah tunjukin air mata gue di depan orang lain. Dan seharusnya emang begitu. Air mata gak perlu dipamerin ke siapa pun. Cukup diri sendiri."

Entah perkataan Hana salah atau tidak, Jay langsung meliriknya melalui ekor mata. Hanya dua detik, karna setelah itu dia kembali mengamati jendela.

"Nangis itu nggak salah. Nggak penting cewek atau cowok. Karena cara terbaik seseorang ngelampiasin perasaannya cuma dengan nangis. Kadang orang-orang lupa bangkit lagi. Walau masalah lo jadi paling besar, lo harus tetap berdiri lagi. Karena setiap masalah punya jalan keluarnya masing-masing. Nangis nggak harus dilakuin terus-terusan, yang penting bangkit dan berusaha selesaian masalah itu,” ujarnya panjang sambil menatap lurus ke depan, menerawang jauh ke masa lalunya.

Tidak hanya masa SMP, masa SD Hana juga kurang baik. Karena Mama-Papanya yang begitu sibuk kerja, tidak bisa mengantar-jemputnya ke berbagai tempat seperti sekolah, ekskul, dan les, dia kerap disebut anak buangan. Yeonjun yang pada saat itu tinggal di rumah Oma selama bertahun-tahun tidak bisa menemaninya di masa-masa itu.

Tanpa Hana sadari, Jay sudah menatap ke arahnya.

"Lo cengeng juga ternyata." Hana tersenyum miring, membuat satu alis Jay terangkat ke atas.

"Siapa yang lo bilang cengeng?" Suaranya begitu berat, kini bercampur serak sehingga terdengar lebih mengerikan di telinga Hana. Lagi-lagi membuat bulu kuduk Hana berdiri. Tapi dia menyembunyikannya.

"Itu tadi, sampe meluk-meluk gue." Hana pura-pura bergidik jijik.

"Jadi lo jijik?" Jay menudingkan tatapan tajam.

"Kalau jijik, lo mau apa?"

Cowok itu mengangguk lalu mulai menggeser posisi duduknya menjadi lebih jauh dari Hana. Hana yang melihat sontak menyunggingkan senyum miring, ekspresi serta raut wajah Jay datar, entah mengapa jadi terlihat lucu ketika melakukan itu. Seperti anak kecil ngambek.

"Lo gak mau nangis lagi?" Hana melontarkan pertanyaan itu, seperti ingin menggodai Jay.

Jay membuang mukanya. "Gak usah bicara sama gue."

Breastfeeding Prince✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang