"Hahahahaha," suara tawa itu menggema di setiap ujung ruangan. Suaranya yang terlampau keras sampai terdengar ke ruang-ruang yang berada di dekatnya.
Suara itu milik Kila. Gadis itu memegangi perut dan tangan kanannya memukul-mukul lantai asrama. Sementara itu Dara sedang merengut, dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada.
Vinda yang tidak tahu menahu apa yang ditertawakan Kila hanya geleng-geleng kepala. Dia mencomot kentang goreng yang terhidang di depannya tanpa menyadari ekspresi Dara yang sudah masam semenjak masuk ke dalam asrama.
Petang hari itu Kila, Dara, Zia, dan Vinda sedang beristirahat di asrama. Mereka sengaja duduk di lantai, biar dingin katanya. Padahal sudah ada ac dan kipas angin, tapi para gadis itu memilih untuk tidak menggunakannya dengan alasan hemat energi dan biar lebih ramah lingkungan.
Tapi apakah itu tidak berlebihan?
Memang benar sih, tapi hal itu enggak bakal mengurangi uang bulanan sekolah dan uang bulanan Mawija kan mahal, lalu mengapa mereka tidak menggunakan fasilitas secara maksimal? Bukankah itu namanya menyia-nyiakan kenikmatan?
"Udah gila ya, lo?" tanya Zia setelah menutup novel lalu meletakkannya di atas nakas. Gadis itu memandang Kila yang hampir bisa disebut sebagai 'orang gila' akibat tingkahnya yang tidak jelas. Kemudian dia beralih mengambil ponsel di sebelah.
"Iya, udah sinting temen lo tuh," kata Vinda menimpali. Gadis itu masih setia mengunyah kentang goreng dengan saus tomat.
Kila berhenti tertawa. Wajahnya berubah menjadi merah padam, matanya juga jadi sedikit berair. Dia menghela napas panjang. Kila lelah tertawa. Bahkan perutnya jadi sakit gara-gara tawanya tadi. Sepertinya dia sudah hampir overdosis.
"Lo gak tau sih, tadi ekspresinya Dara di kelas pas dibilangin sama Pak Arto. Gokil abiez!"
Kila berusaha untuk tidak tertawa kembali. Dia mengatur napas. Gadis itu tidak mau sampai kelewat dan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.
"Ih, Kila. Jangan diceritain, awas aja!" ancam Dara. Dia masih saja merengut. Mungkin jika dapat dilihat kepala Dara sudah keluar sungut, dan telinganya mengepul asap.
Vinda mencondongkan badannya ke arah Kila. Dia tertarik dengan cerita dari sahabatnya itu.
"Coba ceritain, Kil." Vinda mencoba meledek Dara, sebenarnya gadis itu bisa menebak seperti apa ekspresi Dara tadi. Vinda bisa membayangkan karena dia sudah sering menemui anak yang sedang dimarahi Pak Arto.
Dara semakin merengut.
"Udah deh, udah merah tuh mukanya. Bentar lagi nangis," kata Zia.
"Ih, enggak. Gue gak cengeng tau." Dara membela diri. Padahal aslinya dia memang sedikit cengeng.
"Btw, gimana lo di klub drama?" tanya Zia mengganti topik pembicaraan.
"Katanya klub drama mau bikin pentas. Gue gak sabar liat, temen curut gue ekting," kata Vinda sedikit heboh.
Kila mengambil kentang goreng, mencolekannya ke sambal, kemudian memasukkan ke dalam mulut.
"Ah, Zii! Jangan bahas itu deh. Males gue."
"Gue tebak, si Nafta sih yang jadi pemeran utamanya." Vinda meminum yoghurt. "Dia kan, cantik, pinter, baik hati, famous lagi," lanjut Vinda. Dia melirik Kila sambil terkekeh.
Ungkapan jujur Vinda membuat Kila melotot. Padahal ucapan Vinda benar adanya. Ya, kecuali yang baik hati itu.
Kila memukul bahu Vinda pelan. "Heh! Orang kaya gitu dibilang baik? Di mana letak mata hati lo, Nda? Mending gue, udah baik, cantik, berbakat, agak pinter sih, dan yang paling penting berperi kemanusiaan!" katanya sambil mengibaskan rambut panjangnya.
Dara mengerutkan kening. "Nafta?"
"Iya, si Nafta. Cewek ngeselin alay lebay plus jamet," tutur Kila berlebihan. Padahal sesungguhnya Nafta tidak alay, bukan lebay apalagi jamet.
"Yee, itu mah lo yang alay, Kil."
•••••
Pukul tujuh malam, sebagian besar siswa Mawija sedang memakan makan malamnya di kantin. Namun, sebagian dari mereka juga ada yang memakannya di asrama.
Dara, Vinda, dan Kila termasuk dalam kategori yang pertama. Saat ini mereka sedang makan malam di kantin.
Kantin Mawija bisa dibilang luas, kantin ini didesain untuk dapat menampung semua siswa SMA Mawija. Pantas saja, ini kan sekolah dengan asrama tentunya pihak sekolah sudah menyiapkan matang-matang seluruh fasilitas untuk menunjang kebutuhan siswanya.
Suasana kantin tidak terlalu ramai, tenang dan sangat kondusif untuk makan malam dengan nyaman.
Empat piring nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi serta empat gelas teh manis dingin sudah terhidang di meja mereka.
Dara, Kila, dan Vinda sudah mulai memakan nasi goreng hangat yang baunya sangat harum dan menggugah selera. Sedangkan Zia belum sama sekali menyentuh makanan lezat itu.
"Besok, gue ada turnamen bulu tangkis. Acaranya di luar kota. Mungkin gue bakal enggak balik ke asrama karena club bakal bawa tim buat tanding ke turnamen-turnamen lain dan gue gak mungkin bisa pulang ke asrama."
Zia memang gadis multitalenta. Dia pintar dalam sains dan jago dalam olahraga, khususnya bulu tangkis. Sudah banyak kejuaraan bulu tangkis yang dapat dia menangkan selama ini.
Oleh karena itu, dia mengikuti ekstrakurikuler bulu tangkis untuk mengasah kemampuannya. Selain itu bulu tangkis juga olahraga kegemaran gadis itu sejak kecil.
"Maksud lo? Ini makan malam terakhir kita sama-sama?" Vinda menatap lurus Zia, menuntut jawaban atas pertanyaannya.
Dara kaget mendengar tuturan Zia. Sejak dulu dia juga suka dengan bulu tangkis. Tapi sayangnya dia tidak dapat memainkan raket dengan kok. Dia hanya bisa servis tanpa bisa menangkisnya kembali.
"Enggak, Nda. Lo pikir gue bakal mati apa? Kalo udah kelar semua tunamennya gue bakal balik," jawab Zia.
Kali ini Kila yang merespon. "Gue seneng banget impian lo udah terkabul, Zi. Cuman yang bikin gue sedih lo bakal jauh dari kita. Em... semoga berhasil ya. I proud of you, Zia."
"Bawa medali emas yang banyak, ya!" imbuh Kila dengan keras.
"Meskipun kita baru kenal, ya, Zi. Gue—" ucapan Dara terpotong.
Suara nampan aluminium yang terjatuh dengan keras mengalihkan perhatian mereka. Dari depan sana suaranya berasal, akibat ulah seorang cowok, dan itu adalah... cowok yang tadi bisu—yang dikira bisu tadi pagi? Entahlah Dara lupa lupa ingat.
"Lo nyari masalah sama gue?" kata cowok berjaket hitam.
"Gue rasa yang lo yang suka nyari masalah sama gue." Cowok itu mengambil nampan lalu menyerahkan nampan kepada lawan bicaranya. Menyisakan pecahan piring dan nasi yang berserakan.
Semua siswa tampak tidak menghiraukan keduanya, sudah biasa mereka seperti ini.
Tidak bagi Dara, dia masih saja memperhatikan kedua cowok itu. Kila mengibaskan tangannya ke depan wajah Dara. "Kedip, jangan melotot terus."
"Ih apaan sih, mereka kaya mau beranten loh, masa ga ada yang ngelerai sih?" tanya Dara heran.
"Biarin aja, mereka enggak bakalan berantem. Palingan bentar lagi Delta pergi, terus si anak osis itu, namanya Arion, dia yang bakal bersihin semuanya," jawab Zia dengan mengunyah makanannya.
Delta, cowok yang tadi pagi Dara temui memang tidak suka berdebat, dia tidak ingin membuang waktunya untuk hal yang tidak berguna semacam itu. Sedangkan Arion, dia sangat patuh aturan dan sangat membenci Delta. Jadi setiap bertemu dengan cowok itu, amarahnya tiba-tiba muncul begitu saja.
Dara menggut-manggut mendengarkan penjelasan dari Zia, kemudian mereka mulai menyibukan kembali dengan nasi goreng yang dianggurin sejak tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Clandestine (revisi)
Novela JuvenilSMA Wijayakusuma, sekolah dengan fasilitas pendidikan yang sangat lengkap. Disebut-sebut sebagai sekolah yang paling berhasil menjadikan alumninya mengenyam kesuksesan, membuat banyak siswa yang mengidam-idamkan sekolah ini. Namun, dibalik itu semu...