Deras hujan yang membasahi tanah menjadi saksi. Devan membekap mulutnya tidak percaya, dia berlari sekencang mungkin menghampiri sosok yang tidak berdaya. Berteriak kencang, memohon kepada semua orang yang mengelilingi untuk memanggil bantuan. Sampai detik ini di sebuah rumah sakit, Devan masih termenung.
Sepasang suami istri nampak tergesa menuju ruangan yang Devan duduk di depannya. Sepasang suami istri yang super sibuk itu, akhirnya kembali ke Kotanya dahulu. Sang istri tidak kuasa menahan air matanya. Sampai si suami berdiri tegap kala melihat dokter keluar dari ruangan.
"Orang tuanya Raka?" Tanya dokter tersebut, atau namanya adalah dokter Trisan.
Si pria dewasa mengangguk. "Ya, kami orang tuanya."
"Begini Pak, Bu. Ada hal yang harus saya jelaskan." Dokter Tristan melanjutkan. "Pasien memang sudah melewati masa kritisnya tadi, namun sayang benturan di kepala pasien terlalu keras sehingga pasien mungkin masih sangat lemah untuk mendapatkan kesadarannya." Tristan tidak kuasa untuk menjelaskan hal selanjutnya, namun sebagai dokter dia harus menjelaskan. "Hanya saja saya pribadi nggak tahu kapan pasien bisa sadar."
Istrinya langsung menghadap, memeluk sang suami. "Gak mungkin, Raka.... "
Arjuna yang berjalan dengan tertatih menangkap sosok kedua orang tuanya. Dia berlutut, menangis di hadapan mereka. "Ma, Pa, Maafin Arjuna Ma, Pa. Arjuna gagal, Arjuna gagal ngejaga Raka."
"Berdiri Nak, jangan kayak gini. Semua pasti udah jalan dari Tuhan. Kamu gak salah Arjun." Sang Papa menghibur sang anak sulung.
Devan yang diam, berbicara pelan. "Keadaan Raka gapapa kan? Dia baik-baik aja kan?"
Arjuna mengepalkan tangannya erat. Dia menarik kerah baju Devan. "Lo! Masih beraninya lo nanya kayak gitu?! Gara-gara lo adek gua sekarat sekarang! Gara-gara kelemahan dan keegoisan lo adek gua yang harus jadi korban!"
"Arjuna, lepasin. Semua ini udah memang takdir, Devan gak salah sayang." Mama Arjuna melepaskan dan menenangkan putranya itu.
Arjuna melepaskan cengkeramannya. "Kalau lo gaada dari dulu, semua kehidupan adek gua akan baik-baik aja dan dia gak harus selalu ngelindungin Kakak lo!"
'DEG'
"Arjuna!" Sang Papa mengingatkan. Dia kemudian melirik ke arah Devan, dipegangnya pundak yang bergetar tersebut dengan lembut. "Nak Devan, bisa tolong kamu untuk pulang dulu? Sekarang, kita mungkin lagi butuh waktu sendiri."
Devan mengangguk. "Iya Om."
Beberapa menit, akhirnya Devan sudah tiba di rumah. Saat membuka pintu dia melihat kakak kembarnya sudah duduk di atas sofa. Wajah Revan tidak mempunyai ekspresi yang tak berarti.
Datar hanya itu yang dapat Devan lihat dari wajah sang kakak.
"Baru pulang?" Tanya Revan datar.
Devan mengangguk. "Tadi gue, Raka...... "
"Kecelakaan. Ya, gue tahu." Jawabnya datar.
Devan tidak bisa menahan air matanya. "Gara-gara gue Raka kecelakaan, harusnya gue yang ketabrak. Tapi dia dorong gue, dia gak sempet lari. Harusnya... Harusnya..... "
Revan tidak menjawab apa-apa. Dia bingung untuk membalas dalam keadaannya yang sekarang.
"Rev?" Devan heran dengan kediaman Revan.
Revan menghela nafasnya. "Sekarang, lo ganti baju. Makan, minum obat lo terus istirahat. Gue lagi capek, gak mau bahas apa-apa."
"Revano." Panggil Devan pelan.
Namun panggilan itu tidak dianggap oleh Revan.
Revan memasuki kamarnya sendiri. Dia tidak mengerti kenapa air matanya menetes turun. Dia duduk di atas tempat tidur dan memukul pahanya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Revan and Devan - Meaning of Life (Huang Renjun)
Teen Fiction[Follow dulu sebelum baca ya :)] Bagi Revan, Devan adalah oksigen yang harus dirinya hirup agar bisa bernafas. Sementara untuk Devan, Revan adalah penopangnya untuk tetap berdiri. Tapi bagaimana jadinya jika salah satu dari oksigen dan penyokong it...