Chapter 10

2K 180 17
                                    

Pagi itu kicauan burung pagi terdengar merdu. Angin yang berhembus tidak terlalu kencang, cuaca juga tidak begitu buruk. Tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas. Suasana seperti ini sangat pas jika diiringi dengan sarapan satu teh atau coklat panas ditambah dengan roti ataupun nasi yang bisa mengenyangkan perut.

Seorang pemuda juga tengah meresapi keadaan ini. Dia terlihat bersemangat sambil membuat makanan. Senyum nya adalah senyum tulus yang jarang sekali orang bisa melihatnya. Revan hanya akan benar-benar tersenyum jika dia memang sedang ingin. Sayangnya sedang ingin Revan itu adalah kesempatan 1 dibanding 23. Setelah merasa bahwa masakannya sudah siap, Revan melepas apron miliknya dan menuju tempat lain.

Tempat yang dituju Revan tentu saja kamar saudara kembar identiknya. Maklum saja, adiknya atau Devan itu sulit untuk bangun pagi. Namun mata Revan kali ini menunjukkan sedikit keterkejutan. Dia bisa melihat Devan sudah bangun dan dengan seluruh kesadaran sempurna. Seorang Devano duduk sambil belajar. Ini adalah fenomena yang baru pertama kali Revan lihat seumur hidupnya.

"Terima kasih, Ya Allah atas mukjizat ini. Akhirnya adek kembar gue bisa gunain otaknya." Revan berkata sambil memasuki kamar Devan.

Mendengar kalimat itu, Devan sedikit kesal. Dia menggembungkan pipinya kesal dan kemudian bicara. "Kambing! Revano sialan emang selama ini lo pikir gue gaada otaknya?"

"Biasanya kan lo pake otot gak pake otak Dev." Revan menjawab seolah mengiyakan pertanyaan Devan.

Devan membolakan matanya. Mendengar jawaban Revan kekesalannya bertambah. "Masih mending gaada otak, daripada lo gak punya hati."

"Kata siapa? Ada kok. Cuma hati gue terlalu mahal buat di perlihatin ke orang lain." Revan menjawab percaya diri.

Devan mendecih. "Alah masa."

"Iyadong, tapi kalau kok lo dengan gratis gue liatin Dev." Revan menjawab sembari mengedipkan matanya pada Devan.

'Pletak'

Devan segera melempar Revan dengan pulpen yang tadi digenggamnya. "Najis kambing! Sana buruan ke bawah, nanti gue nyusul."

"Aw, barbar banget punya adek kembar. Ngegas mulu tiap harinya." Revan beranjak sembari mengelus-ngelus hidungnya yang tadi dengan sempurna mendapat lemparan Devan.

"Kayak sendirinya kagak suka ngegas aja." Ledek Devan setelah mendengar kalimat sang kakak.

Revan tersenyum jahil. "Gue gasuka ngegas, tapi sukanya elo Dev."

"Bilang kayak gitu lagi atau gue lempar pake buku sejarah hah?" Devan benar-benar sudah habis kesabarannya.

Menyadari Devan yang sudah sangat ganas, Revan segera melesat meninggalkan macan yang akan mengamuk. "Kabuuuuuuuuurrrrrrr!"

"Napa bisa para cewek suka sama dia sih." Batin Devan nestapa.

Kedua anak kembar itu pergi ke sekolah, setelah memakan sarapannya. Setelah beberapa menit, Revan dan Devan tiba di sekolah. Hari ini mereka akan melaksanakan simulasi ujian nasional. Tidak terasa waktu untuk ujian kelulusan semakin dekat. Semua murid tampak lebih sibuk dengan pembelajarannya masing-masing.

Revan berpisah dengan Devan, kini remaja itu menuju ke kelasnya. Tiga hari lagi dia, Devan dan teman-temannya akan melaksanakam ujian kelulusan. Waktu seolah berjalan dengan cepat.

"Mama pengen liat anak mama Revan yang jenius ini bakal segetar-getir apa pas ujian nasional nanti ya. Pengen deh mama liat wajah nistanya kamu Rev. Ayodong Rev, jangan cool terus bosen tau."

Revan tiba-tiba saja teringat masa lalu. Bagaimana sang Mama mengatakan keinginan anehnya waktu itu. Sifat Mama-nya sangat mirip dengan Devan. Baik gelagat, senyum ceria maupun tingkah laku miliknya. Sifat sang Mama hanya sedikit menurun untuknya, Revan lebih dominan memiliki sifat yang persis dengan Papa-nya.

Revan and Devan - Meaning of Life (Huang Renjun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang