08 : Newsletter

125 30 52
                                    

"Kara, lo yang bener aja, Bunda mana?"

Padahal baru saja Kara selesai mandi, dirinya sudah diomelin oleh pemuda yang habis meminum susu. Kara menghampiri Arya yang menggerutu. Ia memandang masakannya yang tak ia santap sekalipun oleh Arya. Sang gadis yang melihatnya kesal. "Kenapa? Masakan gue gak enak, iya? Tante? Lo tanya Tante? Tante berangkat pagi tadi, jadi Tante nyuruh gue buat masak."

Bunda gak tau apa yah kalau Kara gak bisa masak.

Mau mengeluh, tetapi ia juga kasian dengan Kara. Jadi, dirinya memilih untuk membawa makanan itu ke dapur. Kara menguntil kemana Arya pergi. Kara tak rela masakannya dibuang ke wastafel. "Ngapain ikut ke dapur?" tanya Arya risih.

"Gue gak rela masakan gue dibuang. Kalau lo ga mau ambil gue aja, gapapa. Kalau lo buang gue ngambek seharian," ketusnya.

Arya mengusap wajahnya. Ia menghela napasnya dan menarik lengan Kara untuk berhadapan dengan kompor. "Gue gak bakal buang masakan lo, gue gak sejahat itu kali, Kar." Cuma pada Kara, Arya tak berani memakinya. "Tapi, lo harus belajar masak hari ini sama gue."

"Kalau seenggaknya lo gak bisa apa-apa, lo bisa jadi ibu rumah tangga yang baik, idaman para suami."

Kara tersenyum. Bagaimana bisa pria di hadapannya sangat baik kepadanya, padahal dirinya pernah mencelakai Arya. Ia mengamati pergerakan Arya dalam memasak. Satu jam hanya menghabiskan waktu bersama perempuan di dekatnya. Setelah banyak perbincangan yang mungkin membuat Kara kesal dengan ceramahnya.

"Kar, lo dari tadi ngerti, kan? Lo gak cuma liatin muka gue doang, kan." Kara menghembuskan napas kasar, sebab Arya terlalu percaya diri dengan wajahnya.

Kara mematikan kompornya. "Lo kira gue dari tadi cuma mau liatin lo? Dan gak mau belajar gitu?! Pede amat lo jadi orang," gerutunya.

"Ya, kan, gue nanya, emang salah?"

Dengan wajah polos Arya, perempuan itu ingin mencabik wajah sang pria. "Lo minta apa semen apa tanah liat? Biar lo gak pede terus sama wajah lo!" kesal Kara.

"Haha, wajah gue udah ganteng. Gak mau dikasi apa-apa. Kalau gue gak ganteng lagi, gimana entar keturunan gue?" Arya terkekeh dan duduk bersama Kara seraya memberikan semangkuk nasi dan tumis sosis telur untuk Kara. Makanan pembuka yang menurut Arya sangat enak dinikmati.

Sang gadis dengan gesitnya mengambil sendok dan mencicipinya. "Enak banget, lo cocok jadi koki," lontarnya.

"Iya, entar saya jadi koki buat anak-anak kita nanti."

Kara terdiam sesaat menatap Arya yang biasa-biasa saja. Padahal hatinya tergoyahkan lemah dan berada sudah di level paling atas. "Oh shit! Don't you grab my feeling." Pemudi itu tak merasa bahwa Arya mendengar suaranya.

"But, you're always be my favorite, gurl."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Korelasi [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang