CZ 14

271 44 19
                                    

"Dari mana?" Tanya ayah mereka yang tengah duduk di sofa ruang tamu.

"Membeli beberapa jenis kertas yang stoknya sudah mulai menipis di kantor, maaf tidak meminta ijin terlebih dahulu," ujar Arlon sambil menunduk sedikit.

"Apa kamu tau jika Alana punya jam les di sore ini?"

"Saya buru buru pulang karena hal itu, 10 menit lagi les itu dimulai," ujar Arlon.

"Jangan pernah mengulangi hal ini lagi, atau tidak kamu terima konsekuensi nya, mengerti?" Arlon mengangguk.

"Dan kamu Alana." Ayahnya menatap Alana yang tengah menunduk, "Pergi bersihkan dirimu, dan ke ruang les untuk belajar!, Ayah membayar mahal untuk hal itu!"

"Iyah." Zea dengan cepatnya melangkah menaiki tangga ke kamarnya, sudah ia bilang kan? Jika bersama Arlon semuanya akan mudah bukan.

Ia menutup pintu kamarnya rapat rapat, Ia bersandar di pintu sambil memikirkan perkataan bude penjual seblak itu yang sedari tadi menjanggal pikirannya.

Jika benar Zea tidak bis bayangkan bagaimana dirinya nanti, sungguh.

***

"Bermainlah yang benar," ujar guru tersebut menegur Zea yang terus salah.

"Ah ma-maaf," Ia kembali bermain mengikuti not yang ada. Meski sekarang jam biola dan harus fokus namun pikirannya masih melayang kepada perkataan penjual seblak itu.

"Alana fokus!" Sentak guru biolanya. "Ada apa denganmu? Kamu salah tiga kali tidak seperti biasanya, fokuslah!"

"Pikiran aku tidak bisa diam," jawab Zea.

"Buatlah diam, kamu alih dalam itu namun kenapa kamu seperti orang bodoh, ha?"

Zea merapatkan bibirnya. Maklum guru biolanya yang dulu sudah mengundurkan diri dan diganti dengan guru jahanam yang tidak tau malu, hanya tau marah marah saja!

"Ayunkan tangan mu dengan lembut, agar terkesan berwibawa," saran guru itu.

"Lagunya bukan alunan untuk bergerak lemah lembut, ini tempo cepat," ujar Zea.

"Jangan membantah saya guru disini!" Bentaknya, "Ikuti saja apa yang saya bilang, agar kamu bisa menarik perhatian penonton!"

Zea menghembuskan nafasnya berusaha sabar, suasana hatinya kini sedang tidak baik baik saja jangan sampai guru di depannya ini menjadi pelampiasan nya. Ia melanjutkan latihannya.

"Yah bagus bagus gerakan dengan lembut." Guru itu menutup matanya menikmati alunan biola yang Zea mainkan, "Ah shit!, Sudah saya bilang mainkan dengan lembut!, Apa yang kamu pikirkan, ha?!"

Zea melepaskan biolanya di atas situ, "Ibu hanya menutup mata bagaimana kau tau aku sedang bermain lembut atau kasar?, Lagipula lagu ini adalah lagi bertempo cepat dan terburu buru jangan memaksakan saya untuk bermain dengan lembut!. Apa kau gila?, beritahukan aku siapa yang bermain lemah lembut dengan tempo cepat ini?!"

"Santai saya bukan orang bodoh yang tidak tau bermain biola, lihatlah ketembok itu!" Zea menunjuk tembok yang terpanjang berbagai sertifikat kejuaraan biola, "Semua itu tingkat nasional dan internasional! Supaya anda tau!"

Guru itu terkejut ditempatnya, ia baru tau jika Zea bisa marah, selama ini ia sabar dan diam jika dimarahi, kenapa sekarang seperti ini?. "Apa kamu tidak punya sopan santu kepada yang lebih tua, hum?"

"Saya menghormati siapapun jika dia tau menghormati orang lain, lagian umur kita tidak beda jauh!" Ujar Zea.

Guru itu mati kutu, mulutnya terbuka ingin bicara namun seakan akan ia sedang kehausan kata kata karena perkataan Zea yang menohok.

Strict Parents [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang