7

7 4 0
                                    

Lisa masuk ke dalam kafe. Banyak pengunjung yang berdatangan. Rata-rata anak muda yang menongkrong bersama teman-temannya. Matanya menangkap sosok seseorang yang sangat ia kenali. Perempuan berambut hitam panjang, memakai dress cantik berwarna merah muda. Teman yang selalu Lisa temui setiap hari, Caca. Lisa menarik tangan David, lalu berlari masuk ke dalam lorong. "Ada apa?" David bertanya. Raut wajah Lisa nampak khawatir. "Caca datang kesini! Dia gak boleh liat lo! Jangan keluar sebelum gue suruh ya!" Lisa mendorong David masuk ke ruangan paling ujung.

Lisa merapikan bajunya. Dia harus terlihat seperti seseorang yang benar-benar bekerja di kafe. Lisa keluar dari balik pintu, berjalan menghampiri Caca. "Tumben kesini!" Lisa mendaratkan dirinya di kursi hadapan Caca yang sedang melihat pemandangan. "Eh? Akhirnya lo datang juga! Lama banget si lo. Abis darimana?" Caca tersenyum senang begitu melihat wajah Lisa. "Ah itu... Gue tadi ada urusan di luar." Lisa menyendok sepotong kue milik Caca. Mereka mulai mengobrol panjang. "Lisa, kemarin aku denger Kak David rumahnya deket sama lo tau! Masa lo gak kenal tetangga sendiri?" Lisa mengingat percakapan pertama antara dirinya dengan David. Dirinya ingat betul mengenai David yang mengira Lisa mengikuti. "By the way, lo udah ngerjain tugas dari Pak Dodi belum? Susah banget tau!" Caca mendumel tidak jelas mengenai tugas yang Pak Dodi berikan minggu lalu. Dia harus membuat essay mengenai jaman pra sejarah minimal lima lembar kertas polio bergaris. Siapapun yang mendengarnya pasti akan mengeluh. "Gue udah, nanti gue kirim ke lo." Caca bersorak kegirangan. Lisa memang sangat gercep mengenai tugas. Lisa dan Caca lanjut berbincang tentang A sampai Z.

Lisa bahkan lupa mengenai David yang sedang menunggunya. Lisa bagai tidak ingat eksistensi David. Sampai salah satu ponselnya berdering. Tertera nama "Aga" di layar. Akhirnya Lisa mengingat bahwa David sedang menunggunya.
"Lo lagi apa sih? Gue lumutan nungguinnya!"

Pupil matanya melebar. "Iya, gue kesitu." Lisa langsung menutup sambungan telepon. "Ca, gue ada urusan sebentar. Besok gue kirim tugasnya ya!" Lisa berdiri, meninggalkan meja dengn cepat. "Iya, dadah!"

Lisa masuk ke dalam ruangan dimana dia meninggalkan David. "Lama banget lo!" David terlihat sangat kesal. Siapa yang tidak kesal jika disuruh menunggu untuk satu jam? David bahkan sudah menghabiskan tiga gelas jus dengan rasa yang berbeda-beda. Jika lebih lama lagi mungkin dia bisa muntah jus saking banyaknya jus yang diminum. Lisa langsung duduk dihadapan David. Mengambil satu macaron. "Satu jam aja udah kesel. Gimana kalau disuruh nunggu seharian?" Belum sempat membalas, Rama masuk ke dalam ruangan. "Marie sudah memesan tiket penerbangan ke Bali untuk pagi besok. Kalian harus berangkat sekarang." Rama memberikan dua tiket pesawat ke Bali. Jadwal penerbangannya tengah malam, Lisa dan David hanya punya beberapa jam untuk bersiap.

"Siapa yang akan pergi kemana?" Ah, David. Lelaki itu benar-benar lambat. "Gue dan lo, malam ini harus ke Bali. Bukankah itu cukup jelas?" Lisa memberikan salah satu lembar tiket. "Kalian harus siap-siap sekarang. Bawa seperlunya aja." Rama duduk dengan tenang, menyeruput kopi hitamnya. "Bagaimana dengan orang itu? Siapa sih namanya? Ali? Al?"

"Ah, dia? Dia sudah ada di Bali. Aku sudah memberitahunya, kamu tinggal menjalankan rencana saja."

...

Lisa masuk ke dalam rumah. Suara televisi menyala bisa terdengar. Lisa menatap Seli dan Karina yang sedang menonton drama korea. "Lisa, kamu sudah makan malam?" Seli bertanya begitu melihat Lisa yang akan menaiki tangga. "Sudah. Aku ke kamar dulu." Lisa bergegas menaiki satu persatu anak tangga. Dia langsung masuk ke dalam kamarnya. Mengambil koper biru yang berukuran sedang. Menurut perkiraannya dia akan di Bali tiga hari sampai satu minggu. Lisa mengambil beberapa baju yang menggantung. Tidak terlihat mahal, dia tidak boleh menggunakan sesuatu yang mahal untuk jurnal ini.

Dengan buru-buru Lisa menarik kopernya, menuruni tangga. Memang sulit, koper itu agak berat. Suara yang ditimbulkan menarik perhatian Karina. "Kak Lisa mau kemana? Kenapa bawa koper?" Seli langsung menoleh, diikuti Damar yang keluar dari ruang kerjanya. "Ah, ini ... Aku ada penelitian di luar kota. Paling lama seminggu." Siapapun yang mendengarnya pasti akan percaya. Cara bicaranya sangat meyakinkan. "Mau dianter?" Damar bertanya sembari mengeluarkan kunci mobil. "Tidak usah, aku berangkat sendiri aja." Lisa berpamitan kepada Damar dan Seli. Sedangkan Karina hanya menatapnya saja.

Dengan susah payah Lisa memasukan kopernya ke dalam bagasi mobil. Penerbangan masih tiga jam lagi. Jarak dari rumah ke bandara hanya membutuhkan waktu 30 menit.
Mesin mobil sudah panas. Lisa melaju menuju bandara. Jalanan tidak terlalu padat. Dia memarkirkan mobilnya di parkiran khusus. Lalu menurunkan koper beserta tas kecilnya. Lisa menelepon David, entah dimana lelaki itu berada.

"Ya?"

"Lo dimana? Udah check-in?"

"Belum, ini di depan terminalnya. Cepetan, gue nungguin."

"Iya." Lisa langsung menutup sambungan telepon. Matanya sudah bisa melihat David yang sedang menunggu. Dia melambai-lambaikan tangannya, untung saja David bisa melihat. David langsung menghampiri, membantu Lisa menaruh kopernya di atas trolley. David mendorong trolley masuk. Sedangkan Lisa berjalan di sebelahnya. Terlihat seperti pasangan. Semua orang melihat ke arah mereka berdua. Mungkin mereka tidak pernah melihat pasangan yang sangat rupawan.
Lisa dan David segera menuju tempat untuk check-in. Pegawai yang bertugas memeriksapun sampai menganga. Bagaimana ada manusia se sempurna ini?

Lisa hanya tersenyum mengetahui orang-orang menatapnya. Sedangkan David merasa sedikit tidak nyaman. Tatapan para manusia membuatnya sedikit tertekan. "Apakah kalian akan berbulan madu?" Salah satu petugas bertanya. David langsung menunjukan ekspresi jijik. Bisa-bisanya ada orang yang menanggap mereka pasangan mereka. "Apakah dia dan saya terlihat seperti pasangan yang sudah menikah?" Lisa bertanya dengan ramah. Tangannya langsung menggandeng lengan David. Sifat anehnya keluar. "Ya, kalian terlihat seperti itu." Petugas itu yakin sekali bahwa Lisa dan David adalah pasangan. "Sayangnya lelaki ini dan saya tidak memiliki hubungan apapun. Hanya rekan kerja." Lisa berkata dengan ramah, namun tangannya masih setia menggandeng lengan David. Petugas itu menunduk, malu bahwa keyakinannya salah. Lisa langsung melangkah pergi, tentunya gandengan itu sudah dilepaskan.

"Masih ada beberapa jam lagi, lo udah makan?" Lisa berjalan mundur, David selalu saja berjalan di belakangnya. "Belum. Liat ke depan, nanti nabrak orang lagi." David memutarkan tubuh Lisa. Akan memalukan jika Lisa menabrak orang lain. "Makan pizza yah, gue lagi pengen pizza." Lisa dengan semangat berjalan menuju restoran cepat saji yang menyediakan pizza. Tas kecilnya ia tarus di salah satu meja, menandai bahwa meja tersebut sudah ditempati.

"Lo mau pizza apa?"

David melihat menu yang berada di atas meja. Namun Lisa malah diam saja. Matanya menatap sesuatu jauh di belakang David. "Ada apa sih?" David ikut menengok juga. Hanya ada beberapa orang yang berlalu-lalang. David tidak tahu apa yang Lisa lihat. Dari tatapan matanya, Lisa terlihat misterius. Entah apa yang dipikirkan Lisa, tidak bisa ditebak.

"Ada apa?"

ENEMYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang