1. Separuh Duka

612 73 6
                                    

Tak ada yang membuka suara. Termasuk Bimo yang biasanya banyak bicara. Isi kepalanya sibuk menayangkan kilas kebersamaan dengan sang ayah. Ia selalu berhasil menahan air mata untuk jatuh, bahkan saat tubuhnya remuk sekalipun. Pertama kalinya sejak 14 tahun silam sungai kembali mengalir di pipi, hanya saja saat ini tak ada lagi suara hangat yang memaksa berhenti.

"Jangan menangis. Wajahmu jelek saat menangis." Begitu kata ayah dulu saat membawanya berhadapan dengan cermin.

Meringis, kemudian diusap kasar wajahnya membuat air yang semula berkumpul dalam satu garis menyebar dan cepat mengering walau bekasnya menjadi lengket. Bimo melangkah mendekati cermin. Benar, kadar ketampanannya menurun. Hidung merah dan berair, bulu mata menggumpal di beberapa titik, serta area mata membengkak.

Sangaji yang memperhatikan Bimo dari sofa menahan diri untuk tidak mengikik. Tingkah laku Bimo sungguh di luar dugaan, siapa sangka pemilik badan besar dan kekar itu menangis dramatis. Maaf, bukannya ia tak peduli dengan duka yang melanda. Kenangan indah bersama ayah tak terlintas barang sepotong gambar pun. Memori dari ayah yang Sangaji ingat jelas adalah ketika dirinya dilarang untuk melakukan apa yang ia suka. Menyebalkan bukan?

Katakanlah pemuda ini tidak waras karena terkadang ia merasa begitu. Jika ada kabar buruk dan sejenisnya yang mengejutkan ia selalu terlambat untuk turut merasakan serta bersimpati. Seperti hari ini, ayahnya berpulang. Orang yang selalu mengekangnya ternyata masih manusia biasa. Manusia yang pastinya akan meninggal. Bukan hal spesial dari matinya makhluk hidup. Jadi apa yang harus ditangisi?

Mungkin nanti saat kekosongan yang ditinggalkan merenggut akal ia akan menyadari betapa sakit ditinggal pergi. Meski begitu Sangaji cukup waras untuk mengendalikan mimik wajahnya. Menghargai saudaranya yang tengah bergelut dengan duka.

Selain Bimo, Nina juga menyita perhatian. Gadis yang jarang mengurai rambut kini membiarkannya menjuntai sehingga beberapa helai menutupi wajah ayunya. Bak berlian yang jatuh tiada henti menjadi penyebab benjolan di matanya, parahnya dapat bersaing dengan milik Bimo. Ia memaksakan beberapa keping biskuit masuk mengisi perutnya yang sudah kosong sejak kemarin siang. Manis biskuit rasa coklat ini tak mampu menambah selera apalagi memperbaiki suasana hatinya. Nina sudah berusaha mengatur nafasnya senormal mungkin, menahan isak yang berjejal keluar, hanya air matanya yang tidak dapat berkompromi.

Selanjutnya Rajendra, anak tertua andalan keluarga. Meja kayu berlapis cat keemasan dengan pahatan yang indah mendapat sorot kosong tanpa minat. Sejak ayahnya dinyatakan meninggal Rajendra diam, mulutnya dikunci rapat-rapat. Memang tidak ada setetes pun yang jatuh tapi garis kemerahan di matanya cukup menggambarkan bahwa dirinya juga terguncang. Seolah jiwanya ikut pergi bersama ayah. Semua keperluan yang biasanya Rajendra dan Nina kerjakan dipindah tugaskan ke Sangaji dan Jetta, si orang nomor sekian.

Ngomong-ngomong tentang Jetta, ia terlihat biasa saja. Bisa dilihat tangannya sibuk mengetuk layar ponsel sesekali maniknya menyorot ke sekeliling ruangan. Terlalu seperti Jetta biasanya. Gadis ini makan dengan baik, bersiap-siap tepat waktu, dan pekerjaan selesai. Seolah tak terjadi apapun. Perempuan tangguh, sampai kejadian memilukan menghantam ia tetap tegak.

Tak lama gadis itu melangkah pergi tanpa pamit. Mungkin ia malu menunjukkan rasa sedihnya. Mata Rajendra mengekor sampai hilang seluruh tubuh Jetta di belokan tangga. Bimo juga ikut menyusul meninggalkan ruang depan, menuju lantai dua kamarnya berada. Sementara Nina yang sudah tenang tak beranjak, orang di sebelahnya juga tetap setia menemani. Tak ada yang dilakukan Hanan selain berdiri di samping sofa tuan putrinya. Hal yang membuat Sangaji iri, andai di sisinya ada Hanan versi Afrodit. Ia yakin akan lebih bersemangat dan hari-harinya menjadi lebih indah kemudian segala pekerjaan selesai dengan baik.

Senyum kecil Sangaji beserta khayalannya harus ditunda. Sosok laki-laki cukup tua menghampiri mereka. Tas hitam kulit tergenggam di tangan kiri, sedangkan tangan lainnya digunakan untuk menjabat orang yang tersisa. Sangaji ingat pria yang kedapatan beberapa kali bersama ayah, salah seorang kepercayaan keluarga Suryo. Tentu saja ia juga bisa menebak tujuan kehadirannya.

~Sang Suryo~

Surai seindah gelombang lautan menari bersama sang bayu tatkala berpijak di balkon yang menghadap taman belakang. Dekat dari sana ada dinding tinggi yang membatasi rimbun pepohonan, area ayah beserta keluarga yang sudah berpulang dimakamkan. Manik Jetta menelisik sembari menggali kenangan bersama pimpinan keluarga. Potongan adegan yang terkubur perlahan muncul kepermukaan. Mengingat rentetan kejadian itu jauh lebih menyakitkan dibanding kepergian ayah untuk selamanya.

Ia pasti dianggap buruk, ketika hampir semua saudaranya mempertunjukkan kesedihan dan dari wajahnya secuil saja tidak nampak. Apakah Jetta harus mencolok kedua bola matanya agar bisa terlihat tersedu-sedu seperti saudara yang lain? Oh, Jetta tentu berbeda dengan mereka yang pandai mengatur air muka. Ia tidak pernah mengikuti kelas sandiwara, sehingga rasa lega yang menyelinap bisa terlihat.

Kelopak matanya turun perlahan, masa bodoh dengan pandangan orang. Suara dari balik dinding sering ia dengar, mereka mengkritik hampir seluruh hal yang terjadi di rumah. Tingkah laku penghuni rumah tak lepas dari sorotan sembunyi-sembunyi yang nantinya akan diceritakan dengan bumbu tambahan. Mengakibatkan beredarlah gosip di lingkungan elit. Para pekerja itu berhasil membuat keinginannya untuk menjahit mulut mereka satu-persatu semakin meningkat. Begitu banyak orang menyebalkan di dunia ini dan sebagian besar ada di sekeliling Jetta.

Ada yang mendekat, ketukan sepatu semakin jelas terdengar dan berhenti di dekatnya. Ia diam menunggu suara lanjutan dari bibir orang itu.

"Maaf Nona, Tuan Sangaji meminta Nona untuk turun ke bawah. Ada tamu yang ingin bertemu."

Jetta membuka indra pengelihatannya, menarik nafas pendek, dan berbalik tanpa menghiraukan orang yang menghampiri. Dari ekor mata ia mendapati pria itu masih menunduk, lumayan. Jelas pria tersebut sudah lulus dari pembekalan sebelum bekerja di sini. Kakinya menuruni tangga perlahan sengaja membiarkan yang di sana menunggu lama. Jetta tahu siapa yang datang, tidak disangka akan secepat ini.

Kehadiran Jetta melengkapi formasi terbaru yang hanya beranggotakan lima orang sebaya. Tak mau membuang kesempatan, pria tua mulai membuka pembicaraan.

"Turut berdukacita, semoga kalian dikuatkan. Saya Johan notaris yang diamanahkan Suryo Sageni untuk membacakan surat wasiatnya. Boleh saya langsung bacakan?"

Rajendra mengangguk menyetujui, dibuka segel amplop coklat yang di dalamnya terdapat sebuah map berisikan surat wasiat. Kelima muda-mudi memasang telinganya baik-baik menyimak setiap kata yang keluar.

"Rajendra, Nina, Bimo, Jetta, dan Sangaji adalah anak Suryo Sageni, selamanya begitu."

Setetes kembali jatuh dari pelupuk mata pria berbadan paling kekar di sana. Kalimat tersebut menggetarkan dadanya, mampu menyentuh hingga ke hati. Biarkanlah Bimo tenggelam bersama drama melankolisnya.  Namun, belum sempat tetesan berikutnya terjun, kedua bola mata hampir loncat setelah kalimat lain dibacakan.

"Saya percaya kalian bisa menjaga kredibilitas dan nama baik kita. Jadilah lebih kuat, jadilah lebih erat. Hanya keluarga yang utama. Hanya keluarga yang akan selalu ada. Sampai bertemu di pembacaan surat wasiat yang sebenarnya, seratus hari dari kematian saya. Bertandatangan di bawah ini Suryo Sageni."

20/11/2021






H-99 pembacaan surat wasiat.
Makasii udah menemukan cerita ini! Tunggu bagian selanjutnya 👍

Sang Suryo | 97 LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang