"Saya turut berduka cita."
Perempuan berusia hampir seperempat abad sedikit menarik sudut bibirnya, menghargai belasungkawa yang ia duga hanya formalitas belaka. Kalimat serupa berulang-ulang dirapalkan seolah memaksanya kembali pulang dan menangis tersedu-sedu seperti kemarin. Sayang air matanya hanya berlaku untuk satu hari.
"Saya dengar anda ingin menambah simpanan di bank kami sekaligus memperpanjang simpanan yang lalu bapak Damar Kusuma?" ucapnya memastikan.
"Betul, dilihat dari simpanan kemarin saya rasa di sini tempat yang aman dengan bunga masuk akal," balas Damar sembari melihat sekeliling.
Senyumnya bertambah lebar mendengar jawaban dari salah satu kenalan Rajendra. Pria seribu wajah yang sempat saudaranya ceritakan adalah mantan politikus terkemuka. Sebutan tersebut bukan tanpa alasan sebab orang ini memang selalu mengganti wajahnya, dapat ia simpulkan sudah kecanduan pisau bedah. Kabar hangat pria ini sudah melangkah mundur dari dunia politik setelah meraup banyak uang.
Banyak dari kenalan Rajendra yang menjadi penyuntik dana terbesar dan tidak sedikit pula yang mengajukan pinjaman. Mereka menyimpan aset hasil curian kemari kemudian pindah ke luar negeri atau mengganti wajahnya agar leluasa berkeliaran. Tidak seperti bank kebanyakan, di sini privasi sangat dirahasiakan termasuk dari tangan aparatur negara. Tidak ada yang pernah bisa meminta data nasabah apalagi riwayat transaksinya. Itulah mengapa bau busuk uang hasil curian tercium tapi tetap aman.
"Saya kemari untuk melakukan pembaruan data dengan kornea mata. Sebagai antisipasi jika wajah saya berubah dan agar urusan kita jadi lebih mudah," lanjut pria berhidung mancung itu tersenyum ramah.
Dari informasi yang Nina dapatkan ia adalah nasabah lama dengan keamanan level rendah hanya menggunakan kombinasi angka. Peningkatan sangat drastis dalam kurun satu tahun untuk berada di posisi VVIP. Sudut bibir Nina terangkat sewajarnya sangat penting untuk menjaga kesopanan dan isi kepalanya juga sibuk mengamati tingkah laku nasabah.
"Baik, pak. Apakah bisa kami urus hari ini?"
"Secepatnya, saya ingin menikmati hasil jerih payah besok ... Mungkin anda ingin bergabung Nona Nina Vijayalakshmi Suryo," ucapnya dengan bibir yang masih ditarik panjang sembari mendekat menyerahkan secarik kertas berisi alamat penginapan. "Saya sangat perkasa di ranjang."
Nina tersenyum lebar menahan tawa yang hampir meledak. Lucu sekali pria di hadapannya. Mendapat keberanian dari mana hingga mulut kotornya bisa mengajak perempuan terhormat untuk tidur bersama. Dagu Nina diangkat tinggi-tinggi, beranjak dari sofa empuk berwarna hitam, dan memerintahkan pegawainya untuk segera mengurus keperluan tamu kurang ajarnya.
"Amanda yang akan membantu anda mengurus segala keperluannya. Silahkan." Telapak tangannya terbuka mengarah ke seorang pegawai semampai. Mau tak mau pria itu segera berdiri sembari mengambil kertasnya.
"Senang bekerjasama dengan anda," ucap Nina lengkungannya tak surut serta tangannya lebih memilih bertaut satu sama lain dibanding melakukan salaman perpisahan.
Merekah senyum pria itu masih sama kadarnya walaupun tangan kanannya cuma menyapa udara. Melangkah mendekat kepada Nina yang telah memberi jarak. "Sampai berjumpa lagi, Jasmineku."
Bisikkan orang gila ini tentu tidak membuat dirinya takut ataupun gemetar. Kalau boleh dinilai indera penciuman dia boleh juga untuk sebutan yang sesuai dengan aroma tubuh Nina.
Segera setelah nasabahnya digiring oleh seorang pegawai raut tadi hilang digantikan wajah yang biasa ia tunjukkan. Rambut yang ditata model sleek low bun diusap perlahan di bagian kanan depan. Ia berbalik menatap nyalang seseorang selain dirinya, pemuda gagah yang berdiri satu langkah di belakang sebelah kiri tempatnya duduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Suryo | 97 Line
FanfictionKematian Suryo Sageni menjadi awal retaknya keluarga paling disegani. Rated R Pub Start : 17-11-2021 End : -