10. Patah

283 42 6
                                    

Semilir angin menerpa rambutnya yang kuyup. Tetesan tersebut jatuh dan meresap ke jubah mandinya. Usai membersihkan badan ia tak lekas ganti pakaian. Kesukaannya untuk duduk di balkon kala mentari tenggelam menjelang ditemani secangkir teh tanpa gula. Jetta mengedarkan pandangan tak sengaja melihat sebuah gambar penuh makna di pergelangan tangan. Gambar yang ia abadikan saat akhir usia remaja.

Kenangan kembali berdatangan tentang seorang remaja laki-laki yang mencoret-coret pergelangan tangannya menggunakan pulpen. Tentu Jetta yang juga remaja dibuat kesal, dirinya sedang bersedih malah dijadikan lelucon.

"Maaf gambaranku nggak sebagus Aji." Jetta masih menekuk wajahnya dan menarik tangan yang digenggam laki-laki itu dengan kuat.

Sama sekali tidak tersinggung, ia tersenyum tulus. "Aku gambar titik koma."

Perempuan yang diajak bicara melayangkan sorot tajam, kepalanya sedikit menunduk seolah siap menyeruduk jika orang di hadapannya berbicara omong kosong.

"Kamu mau tahu kenapa?" Ia cepat menggeleng, siapa juga yang peduli dengan coretan ini.

"Jadi, titik koma itu tanda yang memberi jeda kalimat bukan mengakhirinya." Jetta berdecak dan memutar bola matanya. Apa dirinya terlihat sebodoh itu?

"Kalau dalam hidup saat kita capek, muak, benci sama kejamnya semesta bekerja berhenti dulu, istirahat. Kita masih punya kesempatan buat hari esok yang beruntungnya adalah sebuah rahasia. Nggak peduli akan jadi lebih baik atau malah tambah buruk. Kita cuma perlu terus bangun untuk tahu rahasia apa yang disimpan hari esok." Ada yang menyentuh ulu hatinya hingga ia diam dan terhanyut.

"Rajendra, kamu di mana?" Panggilan gadis lain yang tak nampak batang hidungnya membuat laki-laki ini berdiri.

Bukan pergi tangannya justru mengusap lembut bahu Jetta membuat empunya bertemu pandang. "Kamu istirahat ya, besok hadapi dunia sama aku."

Cukup lama ia mencari kebohongan di sana. Tidak ada. Haruskah Jetta percaya mulut manisnya?

"Rajendra, ayah nyari kita!" Teriakan yang sayup-sayup terdengar. Laki-laki yang disebut namanya berbalik, bergegas menuju sumber suara.

Jadi, hanya omong kosong? Sudut bibir kiri terangkat, meringis, dan mendengus. Bodoh, dirinya tampak menyedihkan dan laki-laki itu tahu sisi terburuknya. Ibu jari mengusap berkali-kali pergelangannya dengan kasar. Hitam tinta sulit hilang sepenuhnya, masih membayang berganti abu-abu.

Sebuah kepala menyembul di perbatasan pintu kamar, Jetta melonjak bukankah pemuda ini sudah pergi? "Jetta! Pergelangan tanganmu nggak cocok dengan motif bergaris."

'Besok' yang remaja itu ucapkan dan ia kira hanya basa-basi belaka masih bertahan hingga sekarang. Ia juga mengira akan dipermalukan sebab rahasianya sudah dipegang, sempat takut ayah akan murka. Tapi, nyatanya kesayangan ayah memang baik. Jetta masih terus terbangun untuk menghadapi dunia bersama Rajendra Adhinata Suryo.

Khitmat mengenang pahit manis masa lalu Jetta hentikan, ia beranjak sebelum matahari benar-benar tenggelam di peraduan. Berganti pakaian dan lekas turun setelah mendengar kegaduhan yeng bersumber dari bawah. Didapati Sangaji ikut mengomando segerombol orang yang menggotong pigura besar.

"Jangan sampai lecet!"

"Baik, Tuan!" jawab seluruh pelayan laki-laki yang membantu.

Sangaji mengarahkan telunjuknya kepada seseorang yang memegang sudut pigura. "Jodi, turunkan lagi bagianmu!"

Jetta tegap berdiri sempat rahangnya turun kemudian diperbaiki air mukanya. Kegilaan apalagi yang terjadi di rumah ini! Ide-ide Sangaji yang sialnya brilian menjalar liar dan tingkahnya makin menggila setelah tidak ada yang mengatur.

Sang Suryo | 97 LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang