12. Jangan Menunggu I

329 36 4
                                    

"Rajendra, to—"

Tombol merah segera ia tekan dan ponsel tersebut diletakkan seperti sediakala. Jaringan juga sudah dinonaktifkan agar tidak ada apapun yang mengganggu makan malam mereka. Senyumnya mengembang sempurna menyambut kembalinya Rajendra yang langsung melepas jas cokelat tuanya. Tidak sampai situ sang pemuda mendekat hanya untuk memasangkan jas tersebut ke tubuh perempuan yang sabar menantinya.

Bibirnya tidak bisa berhenti melengkung sebab menyaksikan ketampanan pemuda yang nyaris tak berjarak, bahkan hembusan napasnya menerpa permukaan wajah Jetta. Rambutnya yang terurai hati-hati diangkat kemudian disisipkan jas menutupi punggung hingga pinggiran dada. Rajendra tatanan rambutnya kembali termasuk menyelipkan ke telinga beberapa anak rambut yang menghalangi rupa ayunya.

Keduanya bertemu pandang, bulu kuduknya meremang ketika wajah tampan itu semakin mendekat. Tangan besar perlahan turun dari telinga dan tertahan di dagunya. Sedikit dorongan agar kepalanya lebih mendongak. Kelopak matanya menutup menikmati irama detak yang semakin cepat. Jetta tengah menunggu adegan romantis selanjutnya.

Tetapi, tangan yang menopang dagunya perlahan menghilang. Matanya masih setia terpejam sampai cukup lama tidak terjadi apa-apa. Penasaran matanya membuka perlahan, lebih mengejutkan dari Rajendra yang sudah duduk manis di depan. Ada sosok lain dengan sebuah biola di tangan.

Musisi asing ini ditugaskan untuk memainkan beberapa buah lagu. Membangun suasana tetap romantis terlebih hiasan lilin cantik di atas meja dan pemandangan indah kelap-kelip lampu kota jika dirinya menoleh ke kanan. Namun, itu semua tidaklah cukup semangat Jetta sudah berkurang sebab adegan inti yang ditunggu berakhir menggantung.

~Sang Suryo~


Sesuai arahan kendaraan roda empat yang ditumpangi mundur ke belakang menghantam beberapa gelintir yang tidak mau menyingkir. Setirnya diputar kuat berbelok ke kanan jalan pedal gas segera diinjak tidak peduli barisan orang-orang yang memagari di depan. Tidak mau mati konyol barisan tersebut bubar jalan menampilkan dua buah kendaraan besi yang lebih besar dari kepunyaan tuan putrinya melaju kencang ke arah mereka.

Hanan kembali mengerem dan segera mengemudikan mobil untuk berjalan mundur pasalnya rintangan di depan lebih sulit dilalui. Ia lirik spion ada sebuah sedan bergerak mendekat hingga menabrak bagian belakang. Kendaraan yang ia tumpangi dipaksa maju menghadapi maut yang semakin dekat. Sebelah tangannya tak lagi memegang stir, ia gunakan untuk mencari barang yang selalu tersimpan di dalam laci dashboard. Kosong, jelas-jelas pagi tadi sebelum berangkat ke kantor segala keamanan sudah lengkap tersimpan.

Begitupun Nina sedari tadi mencari senjata api yang diketahui dengan jelas keberadaannya kini menghilang. Bahkan sebutir peluru tidak ditemukan. Dering panggilan yang dua kali dia lakukan Juga tidak disahuti Sangaji. Panggilan berikutnya ia ubah target ke penggawa keluarga Suryo. Nada yang sama kembali terulang, sorotnya sudah fokus menghadap ke depan. Sementara Hanan berusaha mengambil dua buah senjata yang tersimpan di dadanya sembari melawan dorongan yang sepertinya sia-sia ketika truk sudah di depan mata.

Suara menyebalkan itu berhenti, panggilannya terjawab. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan Nina segera bicara. "Rajendra to—"

Tut... Tut...

Ia mendengus kesal kemudian menerima pistol yang disodorkan Hanan. Badan pemuda ini berbalik 180 derajat menghalangi padangan tuan putrinya dari hantaman truk. Telinga Nina mendadak tuli selain detak jantungnya sendiri dan hembusan napas dirinya serta Hanan tak ada lagi yang mampu ia dengar.

Sang Suryo | 97 LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang