Tubuhnya ditenggelamkan tanpa sisa barangkali ampas dari peristiwa kemarin yang bersarang di kepala bisa hanyut dan terbuang. Nina Vijayalakshmi Suryo berjanji itu adalah kali terakhir mengemis di depan pria manapun. Ia tak akan sudi mengulang adegan paling bodoh semasa hidupnya. Entah mengapa akhir-akhir ini emosinya sering lepas kendali dan pikirannya dibabat setinggi pohon tauge. Menyebalkan.
Wajah putih nan halus kembali muncul ke permukaan, tangannya mengepal melayangkan pukulan asal, dan kakinya menghentak. Guncangan dahsyat beberapa kali dilakukan sampai air hangat yang mulanya tenang di dalam tumpah membanjiri lantai kamar mandi.
Tok! Tok! Tok!
Dilirik tanpa minat benda persegi panjang berlumur warna hitam. Udara keluar dari mulutnya, badannya kembali tegak. Ya, hari akan terus berjalan, mau ataupun tidak ia harus melaluinya. Bertemu Hanan sudah menjadi kebiasaan akan aneh jika dirinya mendadak absen terlebih dengan alasan sepele. Tapi, kepercayaan dirinya yang dipupuk hingga setinggi langit mendadak dilumat habis oleh memori penolakan kemarin.
Tok! Tok! Tok! Tok!
Sadar ada yang mengetuk matanya terpejam beberapa saat. "Ada apa?" Suaranya sedikit dikeraskan agar terdengar sampai ke kamar.
"Nona, tuan Rajendra ingin bertemu!" balas seseorang yang sejak tadi menunggu di balik pintu.
"Saya segera ke sana!"
Tubuhnya bangkit mengambil dua lembar handuk berbeda yang tersedia. Handuk pertama berbentuk mirip baju tradisional Jepang membalut tubuhnya dan yang kedua persegi panjang guna menangkap rintik air dari surai wanginya. Ia amati perawakannya sempurna dilukiskan cermin dan aroma yang melekat berhasil mempresentasikan sebesar apa nilai dirinya. William, Hanan, atau laki-laki manapun tidak ada yang pantas memiliki keindahan dan kemampuannya. Nina adalah kepunyaannya, omong kosong mengenai kebahagiaan yang Rajendra janjikan. Sendirian saja sudah sempurna.
Perlahan garis bibir ranum miliknya sedikit melengkung ke atas serta mendung di wajah menepi. Otak cantiknya berhasil menemukan solusi. Nina tahu apa yang harus ia lakukan guna menata dirinya kembali dalam beberapa waktu. Sampai jumpa Hanan.
Kemudian, ia melangkah pasti keluar mengambil pengering rambut di meja rias kamar. Ketika hendak pergi ke ruang pakaian betapa terkejutnya mendapati orang yang mencari terduduk di tempat tidur miliknya. Sempat mematung ia kembalikan alat elektronik tersebut dan bersiap menyemprot pemuda kurang ajar ini.
"Di mana sopan-santunmu? Kita bukan lagi anak-anak. Keluar!" Seperti ada sinar api di matanya yang siap menghanguskan Rajendra jika berlama-lama.
Bukannya menurut tubuh kakaknya malah dibaringkan menempel erat dengan kasur miliknya. Amarah Nina yang nyaris meledak bak disiram es usai menyaksikan gelagat aneh kakaknya. Sebelah tangan Rajendra menimpa indera penglihatannya sendiri, menghalangi cahaya putih dari benda yang bertengger di langit-langit.
"Semua pergi. Anak sulung keluarga Suryo benar-benar nggak berguna," lirihnya membuat Nina seketika lupa bernapas.
Ragu-ragu ia menghampiri sembari susah payah menelan saliva. Ia berhenti di pinggir ranjang bersebrangan dengan Rajendra berada. "Itu pilihan mereka, bukan salahmu," sanggahnya selembut embun pagi yang dirindukan.
Ia amati wajah tampan Rajendra yang hanya tampak bagian bawahnya. "Nanti aku akan menemui Sangaji." Tanpa perintah sekalipun ia memang ingin menemui si bungsu mungkin informasi ini bisa sedikit mengurangi beban Rajendra.
"Aku kakak yang nggak bisa diandalkan ya, Nin?" Nada putus asa dan garis bibir tak simetris terasa pahit bagi Nina.
Kepalanya menggeleng walau tahu kakaknya tidak bisa melihat isyarat ketidaksetujuan. "Kamu kakak terbaik yang kami punya," jawabnya tulus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Suryo | 97 Line
FanfictionKematian Suryo Sageni menjadi awal retaknya keluarga paling disegani. Rated R Pub Start : 17-11-2021 End : -