4. Mencinta

411 54 6
                                    

"Cantik."

Adalah Mustika Ayu yang mampu menjatuhkan hatinya sedalam ini. Cinta harusnya membawa bahagia tapi miliknya punya banyak dinding penghalang dan paling sakit serta sulit ditemukan solusi, yaitu rasa tak terbalas. Hatinya memang disambut hangat, sehangat kasih seorang kakak kepada adik. Ia tak pernah beranjak dari status itu. Belum berjuang sudah dipatahkan dengan beribu kenyataan.

Wajah yang se-ayu namanya sekarang berada di bawah terik menjadi semakin cantik. Kulit putihnya berkilauan, memantulkan kembali sinar mentari. Bibir ranum tak henti melengkung ke atas. Surai legam panjangnya menari bersama angin. Gaun putih selutut berkibar di bagian bawah menyempurnakan penampilannya yang menyerupai bidadari.

Debaran yang ingin ia buang jauh kembali hadir. Ia sadar sebesar apapun usahanya untuk berdamai dengan kenyataan, rasa yang pernah ada ini sulit untuk dilupakan. Mencoba membenci wanita yang tak bersalah itu sudah dilakukan. Menghindar untuk bertemu juga sudah. Tak jarang mengencani wanita lain jadi pilihan. Dari semua usaha tak ada yang mampu menggantikan atau setidaknya menyingkirkan Mustika Ayu. Ada ruang besar khusus untuk anak kepala pelayan yang telah tertutup rapat entah di mana kuncinya.

Detak bercampur nyeri di ulu hati kala seorang pria membawa keluar bidadarinya dari lingkup pandangan. Jurang besar untuk kisah asmaranya baru saja terbentuk dua pekan lalu yang memaksa sadar diri, memaksa berhenti, memaksa menyudahi mencinta.

"Dia cuma anak pelayan," celetuk Nina tiba-tiba sudah berada di sisinya dengan raut datar. "Dan sudah bersuami."

Pandangannya beralih bertemu dengan manik indah yang menatapnya tajam dengan tangan terlipat.

"Sangaji itu putra Suryo." Senyum miring tersungging, jelas ia sudah tahu siapa dirinya dan saudarinya ini mengapa repot-repot ikut campur?

"Jangan melewati batasan," peringat Nina pelan namun jelas dan tajam.

Sorotnya beralih tidak mengindahkan Nina pergi. Taman belakang sudah kosong ditinggalkan objek kesayangannya. Tak perlu susah-susah dingatkan Sangaji sadar betul tempatnya akan selalu sama. Di sini. Dibatasi jendela kaca yang hanya mampu memandang saja. Sungguh tak apa, asal bidadarinya dapat hidup bahagia. Itu sudah cukup. Cinta tak harus bersama, kan?

~Sang Suryo~

Aroma hangus menyebar melalui ventilasi dan jendela serta pintu yang telah terbuka sampai teras. Begitu bau hinggap ke penciuman tidak butuh waktu lama otaknya memerintah kaki untuk menuju sumber. Alarm bahaya berbunyi, ia melesat secepat mungkin menyelamatkan daging yang sudah berubah menjadi arang.

Benar warnanya sudah menghitam dan bumbu yang ia pelajari dari internet melekat di penggorengan. Gagal sudah usahanya bangun pagi demi menyenangkan hati kekasih. Lengkung bibirnya turun menyesali keputusan untuk melihat keindahan pantai pada pagi hari barang sepuluh menit. Tangannya menggaruk kepala masih bingung dengan apa yang terjadi. Apa yang salah? Bukannya butuh waktu 20 menit untuk memasak?

Sepasang lengan kekar menyentuh punggungnya perlahan melingkari area perut menciptakan sensasi geli. Meremang kala hembusan nafas beraroma mint menerpa leher jenjangnya yang terbuka sebab rambut indahnya sudah diikat tinggi. Kelakuan pemuda ini semakin menjadi dengan berani tangannya menjelajah ke daerah terlarang. Segera ia cengkram kedua tangan menghentikan aksi nakal barusan. Ayolah ini masih pagi. Apa yang semalam tidak cukup?

Pelukan mengendur ia langsung putar 180 derajat tubuh semampainya. Didorong pelan dada keras sang pemuda guna menciptakan jarak sebelum ia berbicara.

"Tumben udah bangun. Gagal deh aku ngasih kejutan buat kamu," sungutnya.

Sang pemuda terkekeh kemudian mencubit gemas pipi lembut perempuannya. "Kamu ada di samping aku aja udah bikin bahagia."  Telapak tangannya diambil, dibolak-balik sambil cermat mengamati. "Sayang, jangan main yang bahaya nanti kalau kamu luka gimana, hmm?"

Sang Suryo | 97 LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang