3. Epoch

15 1 0
                                    

Epoch

Sebuah masa atau waktu tertentu di dalam hidup seseorang.

🌼🌼🌼

Brian

"Sudah dulu yah, Iyan capek. Lain waktu kita bahas lagi." Suara seseorang diseberang seketika hilang dari indera pendengaran gue. Menyisakan kalimat-kalimat yang tidak bisa keluar ketika kita saling berhadapan.

Kesal, marah dan selalu sesak. Kenapa mereka hanya mentingin bahagianya mereka sendiri. Kalau memang mau bertindak sesukanya, dari awal jangan libatkan gue didalamnya.

Hidup gue sudah hancur setelah kepergian bunda. Satu-satunya perempuan hebat yang selalu gue jadikan rumah, penyangga dan tempat berkeluh kesah.

Gue kembali ingat saat bunda dengan telaten menjawab semua tanya yang diucapkan anak tujuh tahun itu. Bunda selalu bisa membuat anak tujuh tahun itu tidak kekurangan kasih sayang.

"Bunda, memang Iyan lahir sebagai kesalahan ya?" tanya anak tujuh tahun itu ketika dipangkuan bundanya. Iya anak itu gue. Brian Cakra.

"Iyan, kenapa begitu tanyanya? Anak bunda ada yang jahatin?" bunda selalu menjawab pertanyaan dengan sebuah pertanyaan baru. Selalu begitu.

"Bunda, Iyan itu sebenarnya anak ayah atau bukan? Kenapa ayah engga pernah peluk Iyan?" Tanya gue polos waktu itu sambil mainin mobil-mobilan.

"Sayang, anak bunda yang hatinya lapang. Dengerin bunda. Iyan itu hadiah yang Tuhan kirim untuk bunda dan ayah. Iyan itu bahagia yang Tuhan beri untuk bunda dan ayah. Iyan lahir bukan sebuah kesalahan. Iyan lahir sebagai anugerah yang Tuhan beri. Iyan bukan kesalahan,nak. Bunda minta maaf ya, sudah buat anak bunda sampai berfikiran seperti itu. Nanti kalau Iyan sudah dewasa, bunda akan ceritakan semua. Sekarang belum saatnya sayang. Tugas Iyan sekarang untuk tumbuh dan bahagia. Perihal yang lain biar bunda yang fikirkan. Jadi, anak gantengnya bunda jangan pernah berfikiran jelek seperti itu lagi ya? Ayah juga sayang sama Iyan, sangat" Waktu itu bunda menjawab dengan tenang, seperti biasa wajah bunda selalu menenangkan.

"Bun, Iyan kangen. Maaf belum jadi anak bunda yang baik. Maaf belum berkunjung ke rumah bunda akhir-akhir ini" Tanpa sadar pipi gue basah, ternyata sudah dalam tahap puncak rindu yang gue rasakan.

Bunda, kalau saja malam itu Iyan disamping bunda, Iyan enggak akan semenyesal ini.

Bunda, kalau saja malam itu Iyan enggak egois nurutin kemauan Iyan, mungkin Iyan bisa melihat senyum bunda yang terakhir.

Bunda, andai waktu bisa diulang dan rasa sakit bisa dipindahkan, biar Iyan saja yang sakit. Biar Iyan saja yang gantikan.

Bunda...

"Brian, lo di dalam?" Ketukan pintu kamar kost terdengar begitu nyaring. Ketukan yang mampu menarik kesadaran yang gue punya.

"Iya, gue di dalam. Bentar gue bukain" Jawabku sambil menghapus sisa air mata dengan jari tangan. Kemudian menghadap kaca kecil, berharap muka gue masih sama.

"Eh.. kenapa mbak?" Gue kaget melihat Mbak Mita, anak dari ibu kost sudah ngejugrug di depan pintu.

"Lo lama anjir, hampir lima belas menit ya gue ketok pintu tapi kaga nyaut juga. Lagi ngapain sih?" Jawabnya sambil bangun dari duduknya.

"Minta tolong beliin roti tawar dong, gue hari pertama nih. Nyeri banget, gakuat jalan" Lanjutnya sambil menyodorkan selembar uang biru "yang sayap, ukurannya 330mm" tambahnya.

"Cuma itu? Gue ganti baju dulu mbak" gue memastikan.

"Iya, thanks ya. Nanti taroh aja di meja. Gue ke kamar dulu" dia bersuara sambil berlalu.

No LongerWhere stories live. Discover now