Beberapa waktu ke belakang aku sering menghabiskan hari bersama Zayn, ya walau sebenarnya hal itu sudah sering kami lakukan, namun kemarin terasa berbeda, kami pergi berlibur. Dan itu jadi penyebab aku mengambil cuti bekerja sekaligus tertinggal beberapa mata kuliah. Aku tidak peduli. Lagipula, aku ini termasuk sahabat yang baik bukan? Menuruti apa pun permintaan sahabatku yang sedang patah hati.
Selama beberapa waktu ke belakang juga, hubungan pertemananku dengan Harry semakin baik. Senang rasanya teman dekatku jadi bertambah.
Oh, ya, mengambil cuti membuat pekerjaanku menumpuk, alhasil aku sering diminta untuk lembur akhir-akhir ini. Seperti apa yang tengah terjadi sekarang, aku baru saja selesai dan sedang menunggu kendaraan yang sekiranya bisa kugunakan untuk pulang. Sedikit lega karena jam pulangku hari ini tidak selarut hari-hari sebelumnya.
Keadaan yang begitu sepi, membuat berdiri sendirian di halte terasa sedikit menyeramkan. Aku takut jika tiba-tiba ada penjahat menemukanku. Bagaimana jika mereka menculikku untuk diambil organnya dan dijual? Seram sekali.
Aku bergidik ngeri. Buru-buru menyingkirkan pemikiran negatif itu dan berdoa kepada Tuhan untuk melindungiku.
Hampir setengah jam aku berdiri, namun rasanya kendaraan yang bisa kugunakan nihil. Aku memutuskan untuk membuka ponsel dan hendak menghubungi Zayn yang sekiranya belum tidur. Tanpa memastikan layar ponselku lagi, aku langsung membawanya pada telingaku. Toh aku sudah hafal nama kontak Zayn. Beruntung hanya sampai tiga nada tunggu, panggilan sudah tersambung.
"Halo? Can you help me? Aku tidak menemukan kendaraan yang bisa kugunakan. Jemput aku ya?" Ujarku langsung pada intinya.
"Dengan senang hati, Zarda. Kau dimana sekarang?" Aku tertegun saat yang kudengar adalah suara serak nan dalam, jelas itu bukan milik Zayn.
Menjauhkan ponsel dari telinga, aku melihat layar guna memastikan kembali nomor yang kuhubungi. Oh, sejak kapan nama kontak Zayn berubah menjadi Harry? Sebegitu lelahnya kah aku hingga bisa salah menghubungi begini?
"Maaf mengganggu waktu istirahatmu, Harry. Aku salah sambung, sekali lagi maaf, ya?"
"Ah, ya. Tidak masalah! Kau dimana memangnya?"
"Di kantor. Aku akan menelepon sahabatku untuk menjemput. Kututup ya?"
"Baiklah! Kau bisa menghubungi aku lagi jika butuh bantuan, Zarda."
"Terima kasih banyak, Harry." Aku memutus sambungan dengan Harry. Menarik nafas dalam dan menghembuskannya. Kau memalukan Zarda! Bisa-bisanya salah sambung dan mengganggu waktu istirahat teman barumu itu, ck!
Lantas aku segera menghubungi Zayn, namun tak kunjung mendapat jawaban. Aku juga mengirim begitu banyak pesan padanya, tapi tidak satupun yang dia balas. Alhasil aku hanya diam, menatap sekelilingku yang kini semakin sepi dan cukup terasa mencekam. Aku lagi-lagi hanya bisa merapalkan doa di dalam hati agar Tuhan terus melindungiku.
Dering ponsel memecah keheningan. Nama Harry kembali muncul pada layar ponselku.
"Ya?" Ujarku setelah mendengar Harry menyapa dari seberang sana.
"Kau masih di tempat?"
"Masih di tempat yang sama. Ada apa, Harry?"
"Apa ada jawaban dari sahabatmu itu?" Harry bertanya seakan dia sudah tahu pasti keadaanku saat ini.
"Tidak ada, kurasa dia sudah tidur."
"Baiklah Zarda, ini sudah sangat larut. Kirimkan alamatnya, aku akan kesana sekarang."
Oh, Harry.
"Tidak perlu, Harry. Aku tidak ingin merepotkanmu."
"Kau tidak sama sekali merepotkan, Zarda. Aku tahu kau sendirian di sana. Jika hal buruk terjadi padamu, justru aku yang mungkin tidak akan memaafkan diriku sendiri."
Hening. Aku bingung harus menjawab apa.
"Kirimkan alamatnya, Zarda, aku menunggu." Tambah Harry ketika tidak kunjung mendapat balasan dariku.
Ucapannya barusan membuat perasaanku sedikit kalut. Namun segera kualihkan saat sadar Harry memutus sambungan telepon secara sepihak. Aku memang merasa tidak enak jika harus mengganggunya untuk menjemputku malam-malam begini, tapi entah bagaimana aku tetap membuka kolom pesan Harry dan mengirimkan alamat kantor. Setelah itu, aku langsung beralih menghubungi Zayn dan berpesan untuk jangan menjemput jika dia melihat pesan dariku barusan.
Beberapa saat setelah itu, mobil range rover hitam berhenti di hadapanku. Pintu pengemudi terbuka, memunculkan Harry dengan pakaian santainya. Dia menyapaku seraya tersenyum. Pria ini juga langsung membuka pintu mobilnya dan mempersilahkan aku duduk di sana. Setelah itu dia kembali pada posisinya semua, lantas melajukan mobil untuk mengantarku pulang.
"Kau memang terbiasa lembur seperti ini, Zarda?" Harry memulai obrolan setelah cukup lama keadaan hening menyelimuti kami.
"Tidak juga, biasanya aku pulang dalam keadaan masih terang. Hanya saja aku habis mengambil cuti belakangan ini, jadi kantor memintaku untuk lembur sementara waktu." Pria di sebelahku ini menganggukan kepalanya sambil masih fokus menyetir.
"Jika besok kau harus lembur lagi, jangan sungkan untuk memintaku menjemput, Zarda. Cukup berbahaya berlama-lama di tempat sepi sendirian seperti tadi." Aku tersenyum simpul saat menyadari kebaikan Harry tidak pernah absen sejak pertama kali kami berkenalan.
"Dengan senang hati! Aku jadi memiliki supir pribadi kalau begitu." Gurauku. Harry terkekeh geli, lantas menjentikkan jarinya tanda setuju.
"Kalau begitu aku juga jadi punya penghasilan tambahan." Timpalnya sukses membuatku ikut larut dalam tawa. Kemudian kami banyak berbincang ringan hingga tidak sadar sudah sampai di apartemen tempatku tinggal. Kami turun dan masuk ke dalam gedung. Sebelumnya, aku meminta Harry untuk langsung pulang saja dan beristirahat. Namun dia memaksa ingin mengantarku sampai di depan pintu kamar apartemen. Daripada larut dalam perdebatan, pun aku membiarkannya melakukan itu. Lagipula tidak akan rugi karena aku jadi punya teman mengobrol sampai tiba di depan pintu tempatku tinggal.
"Terima kasih banyak, Harry. Maaf merepotkan sekali." Aku berujar lantas Harry tersenyum menatapku lekat seraya mengangguk.
"Kau sama sekali tidak merepotkan, Zarda. Aku senang bisa memastikan kau aman sampai di sini."
Aku mengangguk dan tersenyum.
"Baiklah—"
"Zayn?" Ucapanku spontan terpotong. Sedikit terkejut saat melihat Zayn tiba-tiba saja datang dengan wajah dinginnya. Pun Harry ikut mengalihkan pandangan pada objek yang kumaksud.
Zayn menghentikan langkahnya. Menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan, kemudian menatap Harry dengan sorot tidak suka.
"Zayn, kau—" Aku menghentikan ucapanku lagi saat Zayn melenggang masuk begitu saja ke dalam kamar apartemennya, lantas menutup pintu dengan sedikit keras. Ada apa dengan pria itu?
Setelah Harry pamit, pun aku segera masuk ke dalam apartemen. Berniat untuk langsung bersih-bersih dan beristirahat. Namun, teringat sikap Zayn tadi membuatku mengurungkan niat. Alhasil, aku hanya duduk diranjang dengan pemikiran yang bercabang mengenai Zayn.
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story About Our Friendship
Фанфик"Aku ingin mengakhiri semuanya." "Zayn? Kau tidak lagi mencintaiku?" "Entahlah. Aku bingung." "Tiap kali kubilang, aku mencintaimu, aku selalu bertanya-tanya mengapa hati kecilku merasa tidak pernah keberatan jika aku harus kehilanganmu." "Dan aku s...