Kembali pada akhir pekan. Hari ini aku berencana untuk pergi ke perpustakaan kota bersama Sara. Sekadar mengisi waktu luang dan Sara bilang dia ingin mencari buku untuk materi tugasnya.
"Hey, menurutmu buku yang ini atau ini?" Sara mengangkat dua buku tebal ke hadapanku. Aku terdiam menatap kedua sampul buku tersebut.
"Yang menurutmu lebih kau butuhkan."
"Aku membutuhkan keduanya."
"Kalau begitu ambil dua-duanya."
"Kau sama sekali tidak memberikan solusi, Zarda." Kemudian Sara meninggalkanku, kembali pada barisan buku di rak.
Apa salahku? Tuhan, perempuan ini membingungkan.
Kami kembali melihat-lihat buku seraya mencari spot yang tepat untuk dijadikan tempat membaca. Sebuah area di sudut ruangan tampak cocok karena cukup hening dan tenang. Alhasil kami memilih tempat tersebut.
"Setelah ini aku akan ke pesta yang diadakan di rumah Jonah, mau ikut?" Sara kembali membuka suara setelah beberapa waktu larut dalam buku bacaan. Jonah Marais, manusia itu satu kampus denganku juga, namun kami tidak dekat.
Aku menggeleng cepat.
"Kenapa?"
"Me time lebih menyenangkan." Jawabku dengan kekehan diakhir kalimat. Sara memutar bola matanya malas, membuatku semakin ingin tertawa.
"Ayolah! Kau harus mencoba datang ke pesta sesekali, rasakan sensasinya setelah itu."
"Tidak tertarik."
Sara menyapu tangannya di udara dengan raut malas, aku menanggapinya dengan kembali terkekeh. Gadis ini lucu saat sedang kesal.
"Lagipula pesta mana yang digelar siang hari seperti ini?" Aku menyambung topik.
"Pestanya nanti malam, aku datang lebih cepat untuk membantunya mempersiapkan."
"Kau dekat dengan Jonah?"
"Biasa aja." Ungkap Sara disertai senyum malu-malu lantas pipinya tampak sedikit memerah.
Oh, gadis ini.
•••
"Sampai jumpa, Sara!"
"Ya, sampai jumpa, Zarda. Hubungi aku jika kau berubah pikiran dan ingin datang ke pesta."
"Never in your wildest dream."
Kami berpisah di persimpangan jalan. Sara ke kiri menuju rumah Jonah dan aku mengambil jalan lurus. Aku akan mampir ke Bradford Grand Mosque untuk beribadah di sana.
Sesampainya aku, tempat ini terlihat ramai. Kurasa sedang ada acara di dalam. Aku melangkah masuk dan ternyata acaranya sudah selesai, tampak dari pergerakan orang-orang di dalam sini.
Mengedarkan pandangan, aku menemukan tempat dan berjalan ke sana. Membawa diriku untuk duduk di sebelah seorang wanita paruh baya. Dia tersenyum saat menyadari kehadiranku, oh, ramah sekali.
"Tadi itu ada acara, ya?" Tanyaku spontan pada wanita paruh baya ini. Dia masih menatapku sedari tadi, maka aku memiliki kesempatan untuk bertanya.
"Ya, seseorang baru saja menjadi mualaf hari ini."
"Ma syaa Allah." Hatiku tersentuh, sangat terharu. Senang rasanya mendengar seseorang telah menemukan jalan pulang.
Tidak ada perbincangan lagi. Aku beserta semua orang di sini mulai beribadah ketika sudah tiba waktunya.
Setelah usai, aku beranjak meninggalkan tempat suci ini. Sebelum itu, aku duduk di teras Bradford Grand Mosque seraya memakai sepatu. Oh, udara hari ini begitu menyejukkan.
"Uhm, excus me. Is it yours?" Aku mendongak, menatap sumber suara. Seseorang dengan pakaian rapi berdiri di sebelahku. Wajahnya seperti orang yang dimaksud si wanita paruh baya beberapa waktu lalu, tadi aku sempat melihat si mualaf sekilas.
Pandanganku beralih pada sesuatu yang dia tunjukkan. Bagaimana bisa aku meninggalkan ponselku dan tidak menyadarinya? Dasar, Zarda! Bersyukurlah karena kini benda itu sudah kembali berada di hadapanku lagi.
"Oh ya, terima kasih banyak." Aku berdiri dan meraih benda itu. Seseorang di hadapanku ini mengangguk dan tersenyum senang.
"Bukan masalah. Kau harus lebih berhati-hati setelah ini, aku tidak mungkin terus menjadi seseorang yang membawanya kembali padamu." Dia bergurau. Aku hanya terkekeh seraya menganggukkan kepalaku, lantas pria ini ikut terkekeh dan berhasil menampakkan dimple-nya.
Oh, manis sekali.
"Aku Harry Edward Styles, seseorang yang membuat tempat ini ramai beberapa waktu lalu."
Benar! Dialah si mualaf itu.
Aku mengangguk dan membalas senyumnya, "Aku Zarda, Zarda Halmahera."
"Namamu indah." Pujinya.
"Terima kasih."
Aku membelalakan mata spontan saat perutku tiba-tiba saja berbunyi. Ayolah, kau membuatku malu, dasar tummy!
Harry menatapku, kemudian kembali terkekeh geli. Aku merasakan pipiku memanas akibat menahan malu. Responnya memperburuk keadaan saja.
"Kurasa seseorang sedang lapar." Guraunya lagi.
Aku tersenyum canggung dan menggaruk tengkukku yang tidak gatal, "Ya, kurasa begitu." Mengakuinya lebih baik.
"Makan siang bersama?"
Aku terdiam, lumayan terkejut saat seseorang yang baru saja kukenal, tiba-tiba mengajak makan siang bersama. Namun, kupikir tidak ada salahnya membangun relasi baru, bukan? Siapa tahu dia bisa menjadi teman baikku setelah Zayn dan Sara. Ya, temanku hanya sedikit, omong-omong.
"Dengan senang hati." Pun aku menerima ajakannya.
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story About Our Friendship
Fanfic"Aku ingin mengakhiri semuanya." "Zayn? Kau tidak lagi mencintaiku?" "Entahlah. Aku bingung." "Tiap kali kubilang, aku mencintaimu, aku selalu bertanya-tanya mengapa hati kecilku merasa tidak pernah keberatan jika aku harus kehilanganmu." "Dan aku s...