6 - Finished

1 0 0
                                    

Aku baru saja menyelesaikan pekerjaanku di kantor beberapa waktu lalu serta melalui perjalanan yang tidak begitu jauh dan tidak begitu dekat pula untuk sampai ke apartemenku. Menaiki lift menuju lantai dimana kamarku berada, lantas berhenti saat tiba di depan pintu apartemen milik Zayn.

Oh, pria ini! Bisa-bisanya dia tidak menutup rapat pintu tempat tinggalnya sendiri, ck.

Namun, melihat benda itu terbuka, aku merasa sedikit beruntung saat mengingat aku membawa makanan yang kubelikan untuk Zayn diperjalanan pulang tadi. Dengan begitu, aku tidak perlu menunggu lama agar pria berhidung mancung itu membukakan pintu untukku.

Aku masuk ke dalam. Keadaan di sini begitu hening. Dimana Zayn?

Pun berjalan lebih dalam lagi menyusuri apartemen kecil milik sahabatku ini. Sebelum itu, kuletakkan makanan yang kubawa di atas meja pantry dan kembali melihat-lihat sekeliling.

Suara dari arah balkon menarik perhatianku. Aku mendekat, di sana Zayn dan Noura sedang berbincang, suasananya terasa menegangkan. Kurasa mereka sedang bicara serius.

Bukannya menjauh, namun bisikan setan kini mendominasi. Memintaku untuk berdiri di dekat pintu balkon dan mencoba mendengarkan percakapan mereka.

Tuhan, maafkan aku yang tidak sopan ini.

"Aku ingin mengakhiri semuanya."

Aku membeku.

"Zayn? Kau tidak lagi mencintaiku?"

"Entahlah, aku bingung."

Aku berusaha terus menajamkan pendengaranku, semakin mendekat pada pintu balkon.

"Aku tidak mengerti dengan diriku sendiri." Zayn terdengar menghela nafas sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Sebenarnya, sejak awal kita memiliki hubungan, aku sering sekali memikirkan hal ini." Sambungnya.

"Memikirkan apa, Zayn?" Noura menuntut penjelasan.

"Tiap kali kubilang, aku mencintaimu, aku selalu bertanya-tanya mengapa hati kecilku merasa tidak pernah keberatan jika aku harus kehilanganmu."

Hening sejenak.

"Dan aku semakin bingung saat menyadari, aku memang tidak pernah sama sekali berkata bahwa aku mencintai Zarda. Tapi perasaan takut langsung menghantui ketika membayangkan betapa berat jika aku harus kehilangannya."

Darahku mendesir.

Dari lubuk hati terdalam, aku menemukan sedikit kebahagiaan di sana. Kebahagiaan mengetahui Zayn takut kehilanganku yang sedari kecil sudah membersamainya. Namun perasaan sedih dan bingung pun turut menyertai atas berakhirnya hubungan sahabatku dengan kekasih yang dia idamkan selama ini. Perasaan itu jauh lebih mendominasi.

Noura menghela nafas lelah, "Kau bahkan baru saja memperjelas semuanya, Zayn." Dia menjeda kata-katanya.

"Terima kasih atas waktumu selama ini." Tersirat perasaan pasrah pada nada bicara Noura.

Oh, gadis malang, aku turut sedih mendengarnya. Ikut tidak rela mengingat segala hal yang telah Zayn dan Noura bangun bersama-sama harus berakhir seperti ini. Dan lebih parah lagi, namaku ikut andil menjadi penyebabnya. Noura, maafkan aku.

Aku mendengar derap langkah yang kuasumsikan adalah milik Noura. Dengan cepat aku berlari menuju sofa, menyiapkan nyali untuk bersandiwara layaknya aku tidak pernah tahu apa yang telah terjadi. Apa aku terdengar jahat?

"Zarda?"

Aku menoleh ke arah sumber suara. Di sana berdiri Noura dan Zayn. Mereka sama-sama terkejut akan kehadiranku.

"Kau sejak kapan di sini?" Tanya Zayn mendekat ke arahku.

"Ah, baru saja. Aku melihat pintu apartemenmu sedikit terbuka. Kau ceroboh sekali Zayn! Beruntung aku yang menemukannya."

"Terima kasih." Singkat Zayn.

"Aku pamit." Noura memecah fokus kami berdua. Dia menatapku dengan senyum sendunya.

Sebelum aku sempat menahan, gadis itu sudah lebih dulu pergi, menghilang di balik pintu. Kupikir masih ada kesempatan untukku bantu memperbaiki hubungan mereka, tapi ternyata kali ini semesta sedang tidak berpihak padaku.

Oh, Noura, sekali lagi, aku minta maaf atas kesedihanmu.

"Zayn, ada apa?" Tanyaku, pura-pura tidak tahu.

"Kami selesai." Aku tetap terkejut walau faktanya aku sudah tahu sebelum pria ini menjelaskan.

"Zayn—"

"Kumohon, bisa kita tidak membicarakannya untuk sekarang?" Kedua bibirku kembali mengatup, aku mengangguk mengerti.

"Kau butuh sesuatu?"

"Temani aku mencari udara segar? Ke danau?" Aku mengangguk, pun Zayn melakukan hal yang sama. Sebelum beranjak, kami saling bertatap. Gurat kesedihan terlihat jelas dari sorot matanya.

tbc.

Short Story About Our FriendshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang