Ponselku berdering. Aku mengabaikan benda itu karena pekerjaanku lebih penting. Tentu saja, karena hari ini terakhir sebelum tenggat waktu dari buku hasil suntinganku sejak sebulan lalu ini habis. Rencananya, aku akan menyerahkan naskah pada atasanku sore nanti. Itu pun jika aku dapat menyelesaikannya dengan segera. Kuharap begitu, agar besok aku dapat bersantai terlebih dulu sebelum lanjut menyunting buku lain. Omong-omong, aku bekerja paruh waktu pada salah satu kantor penerbitan, menjadi seorang penyunting buku.
"Ponselmu terus berbunyi, Zarda." Ujar salah satu rekan kerjaku. Aku hanya menoleh sekilas lantas mengangguk. Meraih dan menerima panggilan ponsel yang selama ini cukup menganggu. Si penelepon itu tidak ingin meyerah rupanya.
"Apa?" Tanyaku sedikit ketus.
"Kau sibuk?" Seseorang di seberang sana bersuara. Aku hanya menjawabnya dengan deheman.
"Kami bertengkar lagi."
"Bisa kita bertemu?" Suaranya terdengar memelas.
"Baiklah. Di shinwari, jam makan siang."
"Terima kasih! Kau yang terbaik, Zarda." Suaranya kembali terdengar sedikit bersemangat.
"Ya, ya. Aku harus kembali bekerja. Sampai nanti." Setelah itu aku menutup panggilan secara sebelah pihak. Kembali meletakkan ponselku di atas meja seraya menyandarkan tubuh pada kursi kerjaku.
Tadi itu Zayn. Hari ini kurang lebih sudah berjalan enam bulan sejak Zayn memberitahuku bahwa dia menjadikan Noura Handerson sebagai kekasihnya.
Jujur, kedua makhluk itu sangat serasi, saling menyayangi, dan manis. Tapi sama saja seperti sebuah hubungan pada umumnya, hari-hari yang mereka jalani tidak pernah lepas dari pertengkaran. Ini bukan kali pertama Zayn menjadikanku tempat berkeluh kesah atau tempat dia mencurahkan isi hatinya. Tetapi sudah sering, bahkan terlalu sering.
Tidak perlu heran, Zayn sahabatku sejak kecil. Hampir seumur hidup banyak hal yang kami lakukan bersama, jadi kurasa wajar saja jika dia mempercayakan perihal isi hatinya padaku.
•••
Aku mendorong pintu Shinwari. Pemandangan pertama yang kulihat adalah keramaian pada jam makan siang seperti sekarang ini.
Aku terdiam. Mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru, hingga mataku berhenti pada seseorang yang tengah melambai di pojok ruangan. Pun aku menghampiri orang tersebut dan duduk pada kursi di seberang pria beralis tebal ini.
Aku menatap Zayn, begitupun dia. Raut wajah seperti itu sudah sering kulihat darinya. Aura kesedihan dengan beban pikiran yang bercabang selalu terlukis jelas saat Zayn sedang dalam situasi bertengkar dengan Noura.
Oh, apa cinta semelelahkan itu?
"May I borrow your hand?" Dan selalu kalimat tersebut yang kudengar pertama kali saat dia dalam keadaan seperti ini.
Aku mengulurkan tangan kananku ke hadapan Zayn. Dia memegang dan mengangkatnya. Meletakkan telapak tanganku untuk menempel di dahinya, lantas Zayn memejamkan mata. Pria ini mulai mengatur nafas dan membuat dirinya kembali tenang. Aku hanya diam memperhatikannya. Dalam hati berharap, semoga Zayn bisa terus kuat untuk melewati hari-hari sulit yang harus dia jalani.
"Kau ingin memesan makanan?" Tanyaku sesaat setelah Zayn membuka matanya dan mengembalikan tanganku. Dia hanya mengangguk dan tersenyum simpul. Pun aku memesam kebab yang sudah menjadi menu kesukaanku dan Zayn dari restoran ini.
Kami sama-sama bungkam seraya menikmati suara bising sesekali dari lingkungan sekitar. Aku tidak pernah ingin menanyakan penyebab pertengkaran, kenapa mereka kembali bertengar, dan lain sebagainya. Aku tidak berhak, mereka pasti memiliki privasi. Namun aku selalu menunggu Zayn yang dengan sukarela bercerita karena itu pasti atas kehendaknya sendiri.
Setelah menghabiskan makanan kami masing-masing, Zayn terlihat lebih baik. Raut cerianya mulai kembali pada wajah tampan pria timur tengah ini. Aku curiga bahwa galau-nya tadi itu karena dia belum makan.
Gadis batinku terkekeh karena opiniku sendiri.
"Merasa lebih baik?"
"Selalu setelah bertemu denganmu." Zayn tersenyum senang.
"Baiklah. Ada yang lain? Aku harus kembali ke kantor dan menyelesaikan pekerjaanku. Aku juga ada kelas nanti sore."
"Sebentar lagi. Aku akan mengantarmu nanti."
Aku mengangguk.
"Apa yang harus kulakukan?" Tanya Zayn mulai membahas mengenai pertengkarannya dengan Noura.
"Temui dia dan minta maaf."
"Apa salahku menunjukkan rasa peduli? Itu wajar dalam sebuah hubungan, bukan? Itu wajar saat kau menyayangi seseorang, kan?"
"Tentu itu wajar. Namun semuanya akan menjadi tidak baik saat berlebihan, Zayn." Pria di hadapanku ini terdiam. Kuharap perkataanku barusan tidak menyinggung perasaannya.
Zayn mengangguk, wajahnya menjadi lebih tenang.
"Kau benar, Zarda. Terima kasih sudah mengingatkan." Pun aku ikut mengangguk, perasaan tenang juga mendatangiku.
Sebelumnya Zayn sudah bercerita lengkap dan penyebab dari pertengkaran mereka masih sama seperti beberapa bulan lalu. Zayn ini terlalu protektif, sedangkan Noura mencintai kebebasan. Ya, begitulah.
"Baiklah, aku pamit ya, Moron!" Ujar Zayn lantas bangkit berdiri. Aku mengerutkan dahi. Si bulu mata lentik ini melupakan sesuatu kurasa.
"Kau melupakan sesuatu, Malik?"
"Apa?" Dia bertanya seperti orang bodoh.
"Kau bilang akan mengantarku?" Aku bangkit, menyejajarkan diriku dengan Zayn. Pria di depanku ini terkekeh geli.
"Aku tidak serius dengan perkataanku tadi. Pulang sendiri ya. Kau tidak boleh manja, Zarda!" Rahangku jatuh saat Zayn tiba-tiba mengacak puncak kepalaku secara brutal dan berlari begitu saja meninggalkanku.
"Come back, you idiot!" Protesku tidak terima dan ikut berlari menyusulnya. Masa bodo dengan orang-orang di restoran ini. Zayn sialan!
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story About Our Friendship
Fanfiction"Aku ingin mengakhiri semuanya." "Zayn? Kau tidak lagi mencintaiku?" "Entahlah. Aku bingung." "Tiap kali kubilang, aku mencintaimu, aku selalu bertanya-tanya mengapa hati kecilku merasa tidak pernah keberatan jika aku harus kehilanganmu." "Dan aku s...