4 - Palm Hand

8 1 0
                                    

"Sampai jumpa, Sara!" Ujarku seraya menatap punggung Sara yang semakin menjauh. Setelah dirinya menghilang di balik tikungan, aku kembali masuk ke dalam apartemen dan menutup pintu rapat-rapat.

Baru beberapa langkah, pintu kembali diketuk. Mau tidak mau aku harus kembali ke sana untuk membukanya.

"Zayn? Kau kenapa?" Aku terkejut kala melihat keadaannya yang begitu kacau, terlebih pada lebam ditulang pipi dan sudut bibir yang mengeluarkan sedikit darah.

"Ayo, biar kuobati." Kami masuk ke dalam, lantas Zayn langsung mendudukkan dirinya pada sofa. Dia bersandar seraya menatap langit-langit. Matanya terpejam. Pria ini terlihat begitu lelah. Aku menghampiri Zayn dan duduk disebelahnya.

"Zayn, aku akan mengobati lukamu." Tidak ada respon. Zayn masih pada posisi yang sama. Aku hanya menghela nafas, menunggu persetujuan Zayn dengan ikut menyandarkan tubuhku pada sofa.

Menoleh manatap Zayn saat merasakan telapak tanganku kembali bertemu dengan dahi milik pria timur tengah ini. Keadaan menghening. Aku tidak ingin membuka suara. Membiarkan Zayn menemukan ketenangannya dalam diam.

"Zarda, aku lapar!" Aku menegapkan punggungku spontan. Zayn sudah berada pada posisi yang sama denganku, memasang wajah konyolnya.

Sahabatku ini bipolar, ya?

"Ambil saja di dapur." Kembali bersandar dan memejamkan mata, lantas Zayn mengguncangkan tubuhku bagai anak kecil yang merengek pada Ibunya.

"Ayolah gadis yang kesepian! Aku ini tamu, aku raja di sini."

"Berhenti memanggilku dengan sebutan itu atau kupotong jambulmu." Zayn terkekeh dan berhenti mengguncangkan tubuhku. Beberapa detik kemudian, manusia setengah unta ini kembali melakukannya.

"Jangan tidur, Zarda. Berikan aku makanan atau ku acak-acak apartemen kecilmu ini."

"Apartemenmu juga kecil, bodoh." Aku bangkit dengan malas. Berjalan gontai menuju dapur. Sebelumnya, tangan jailku mengusap jambul milik Zayn, mengacak-acaknya hingga tidak lagi berdiri tegap dan tak berbentuk.

"Zarda?! Sialan kau!" Teriaknya penuh kekesalan. Aku tertawa puas dari dapur. Bukan dia saja yang bisa membuatku kesal, bukan?

Setelah dua piring pasta selesai kusajikan di atas meja. Zayn datang dengan wajah kesal. Aku hanya tertawa kecil menanggapinya.

"Ayolah, Malik! Kau tetap tampan dengan atau tanpa jambul payahmu itu." Aku meledek dan mulai menyantap pasta. Ah, enak juga buatanku!

"Apa?! Payah katamu?" Aku mengangguk semangat sambil tersenyum dengan begitu percaya diri.

"Kau ini?! Kau tida--" Sebelum Zayn menyelesaikan ucapannya, aku sudah lebih dulu membungkam mulut pria ini dengan suapan pasta.

"Sudah, jangan banyak mengoceh atau kuambil kembali pasta itu." Zayn tidak menanggapi. Dia mulai menikmati makanannya. Setelah itu, hanya ada bunyi garpu dan piring yang saling beradu. Kami makan dalam keadaan hening.

Aku meraih piring milik Zayn yang sudah kosong. Kutumpuk bersama dengan milikku. Berjalan ke arah wastafel dan mencucinya di sana.

Aku menoleh saat Zayn tiba-tiba saja duduk pada meja pantry di sebelah wastafel. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Apa?"

"Aku membantu Noura dari pria sialan itu, namun gadis itu malah memarahiku."

Oh, dia mulai bercerita tentang masalahnya hari ini.

"Pria sialan itu hampir mencium Noura, tapi kekasihku itu malah membelanya. Ada apa dengannya, Zarda?!" Aku tersentak kaget saat Zayn berteriak tepat di hadapanku. Dengan spontan aku lebih mendekat pada Zayn dan memegang sebelah bahunya, lantas mengusap, berharap dia kembali tenang. Air bening mulai mengalir dari sudut mata Zayn. Tatapan itu berubah, seolah menyiratkan kehancuran dan penyesalan.

Noura, pria ini sangat mencintaimu. Kau gadis beruntung. Lihat? Apa yang sudah kau lakukan pada sahabatku ini?

"Maaf."

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Zayn." Aku tersenyum sendu lantas mengganti posisi, ikut duduk di atas meja pantry di sebelah Zayn.

"Apa yang harus kulakukan, Zarda?"

"Bicarakan semuanya secara baik-baik."

"Kau mau menemaniku? Aku takut. Hanya mengingatnya saja membuat dadaku sesak, hatiku sakit." Jujur, sekarang dia seperti remaja yang baru jatuh cinta kemarin sore.

"Itulah cinta, Zayn. Selesaikan semuanya secara baik-baik bersama Noura. Cukup kalian berdua, aku tidak ingin ikut campur lebih dalam."

Suasana kembali hening. Aku dan Zayn sama-sama bungkam sambil menatap lurus ke depan. Larut pada isi kepala masing-masing. Kurasa, memang tidak ada lagi yang ingin Zayn bicarakan.

tbc.

Short Story About Our FriendshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang