Seorang pemuda baru saja memasuki rumah besar yang sangat megah. Dengan cepat, pemuda itu ingin menuju ke kamarnya, karena merasa lelah seharian menuntut ilmu di sekolah. Baru ingin melangkahkan kakinya menaiki tangga, sebuah panggilan mengehentikan langkahnya.
"El."
Yang merasa dipanggil pun enggan menoleh dan ingin melanjutkan langkahnya untuk ke atas.
"Adzriel."
Pemuda yang sedari tadi dipanggil namanya memang Adzriel, Adzriel Zidan. Karena merasa ada hal penting, El pun membalikkan badannya dan mendapati pria paruh baya berdiri di hadapannya. Tanpa membalas panggilan pria paruh baya tersebut, El hanya menampakkan ekspresi seolah bertanya ada apa.
Pria paruh baya tersebut menyerahkan sebuah berkas kepada El sembari berucap, "Mulai sekarang papa mau kamu belajar soal perusahaan. Supaya nanti kalau kamu udah lulus sekolah, kamu bisa meneruskan perusahaan papa."
Melihat berkas yang disodorkan papanya dan mendengar perkataan papanya, El hanya memutar bola matanya malas. "El nggak minat." jawab El singkat.
"Apa susahnya buat nerusin perusahaan papa? Kamu jadi bisa bantu papa di perusahaan nantinya El." bujuk papa El, Adrian Matteo.
"Susah. El nggak suka bisnis." bantah El dengan raut wajah yang sangat datar. "El punya impian sendiri pa. Papa nggak bisa terus-terusan maksa El buat nurutin semua kemauan papa." lanjut El panjang. Tanpa menunggu balasan sang papa, El melanjutkan langkahnya menuju kamar.
Adrian yang mendengar jawaban sang putra, hanya memandang kepergian El dengan raut wajah sendu.
"Papa hanya mau yang terbaik untuk kamu, El." gumam Adrian pelan.
Adzriel Zidan Matteo, sedari kecil ia sudah mempunyai impian untuk menjadi pilot. Karena menjadi pilot, El bisa berkeliling dunia. Jika kebanyakan dari orang tua akan mendukung apa yang diinginkan oleh anaknya. Tidak dengan kedua orang tua El. Adrian sangat ingin agar El mau meneruskan perusahaannya, begitu juga dengan mamanya yang selalu mendukung keputusan Adrian. Mereka seolah tak mau memahami keinginan sang anak.
El sudah banyak menuruti kemauan kedua orang tuanya sejak ia masih kecil. El berusaha agar selalu mendapat prestasi di sekolah. Ia selalu belajar setiap hari tanpa kenal lelah. Hal itulah yang membuat El bersikap dingin terhadap banyak orang, karena mereka tidak pernah mau memahami apa keinginan El. Kecuali sahabat-sahabatnya yang selalu mendukungnya.
***
Di dalam sebuah kamar benuansa abu-abu, seorang gadis tengah menatap figura yang berisikan foto sebuah keluarga, terdiri dari dua pasangan suami istri, beserta dua anak kecil, lelaki dan perempuan.
Ziva menatap sendu foto itu. Tak terasa sebulir air mata menjatuhi foto tersebut. "Ziva kangen banget sama papa. Ziva pengen ngerasain kasih sayang dari papa." ujarnya lirih, sembari menghapus jejak air matanya.
Terdengar ketukan pintu dari luar kamar yang mengalihkan atensi Ziva. Setelah memastikan sudah tidak ada bekas air mata di pipinya, Ziva berjalan santai untuk membuka pintu. Dilihatnya, Arzan berdiri di samping pintu sambil bersender pada tembok.
"Tumben di kamar aja lo?" tanya Arzan membuka percakapan.
"Kepo amat lo, ngapa sih?"
"Tuh, di bawah dicari Leo, mau ngajak main katanya." Arzan memberi tahu. Setelah mengatakan kepada Ziva, Arzan berlalu begitu saja meninggalkan kamar Ziva.
Dengan segera Ziva menuruni anak tangga untuk menemui sahabatnya itu. Dilihatnya, Leo sedang tiduran di sofa dan dengan kurang ajarnya, meletakkan kakinya di atas meja.
Melihat ada bantal tergelatak di bawah, Ziva pun mengambilnya dan dengan santainya melemparkan bantal tersebut ke wajah Leo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Dream
Teen FictionZivana Almahyra, gadis ceria dengan sikap bar-bar yang selalu membuat orang yang berada di dekatnya merasa darah tinggi. Memiliki sifat humble dan ceplas-ceplos membuat Zivana mudah bergaul dengan banyak orang. Zivana mempunyai impian dari kecil yan...