Sebuah melodi membangunkan Rafa dari keseriusan menonton benda berbentuk persegi panjang. "Mba, ayo kesana."
"Males nonton setan joged. Tidur lebih bermanfaat."
Panggilan keras mama dari dapur merangsek tubuh dari portal.
"Kamu tuh ya, tinggal ikut aja apa susahnya?" tanya Mama
"Permisi," salamku tak mau lagi berdebat dengan Mama walau masih segar dalam ingatan kejadian tiga hari yang lalu
Rafa terdengar girang bisa melepasku dari kandang. Sial!
Lagi, melodi dimainkan untuk yang kedua kali. Terdengar seperti-
"Mba, ayo! Aku udah siap."
"Nggak ada hobi baru? Hobimu mematikan." Dengan wajah tak berdosa Rafa berkata tidak
Masih terdengar elegi di persimpangan keabadian. Melangkah cepat menuju panggung diiringi gerutuan cilik dari Rafa dan beberapa gosip. Gila! Setan yang mencontoh manusia atau manusia yang mencontoh setan sih sebenernya, batinku
"Mba, aku bareng temen-temen di deket gong."
Tidak, aku sama sekali tak menggubris. Kini wanita di depanku yang menjadi fokus.
"Kamu kenapa nggak ikut joged?"
Wanita itu tampak ragu, "Kau bertanya padaku? Kau bisa melihatku?"
"Sangat jelas. Aku bahkan bisa melihat seberapa cantiknya kamu. Kupikir kalau dijual cukup mahal."
Kurang sopan tau menyerobot orang bicara, kataku pada suara di pikiran
Dia kan bukan orang.
Sama aja, sayang. Kasih waktu dikit ya, seminggu kamu yang jaga deh.
"Maaf, tolong jangan diambil hati kalimat terakhir. Aku berbagi tubuh. Mau berteman?"
Hening
"Aku duduk di sini ya," izinku. "Aku bawa dua minum. Satu cola, satu kopi. Roh juga suka kopi kan?"
"Kamu nggak takut? Aku bukan manusia loh."
"Hantu khususnya roh cuman istilah doang. Mereka mantan orang. Dulu orang, sekarang juga orang cuman ... nggak terlihat aja."
Lu ngomong apa sih, Maemunah
Menyodorkan segelas moccacino padanya. "Minum gih. Kuntilanak di Italia juga minum gituan."
Ia ragu tapi tak berselang lama, meminumnya juga. Dia meminum saripatinya sementara aku mencoba minum kopi aslinya.
"Ternyata bener ya kalo saripatinya udah diminum, rasa kopinya hilang. Oke, berarti itu fakta. Satu pertanyaan gila sudah terjawab."
Mengeluarkan buku kecil dengan sampul gelap dan memberi tanda centang. Tiba-tiba, tangan transparannya menyentuh, menggoreskan ujung pena, membuat beberapa abjad yang acak.
"Tak selamanya kau akan merasa sedih kecuali kau tidak mengizinkannya pergi. Terima kasih. Kau orang terbaik yang pernah aku temui. Terima kasih juga moccacinonya. Ini sangat enak."
Berhenti kemudian menatapku dengan senyum. Perlahan, luntur terbawa angin.
"Gadis ini tak sebaik yang kau kira. Dia punya sisi iblis dalam dirinya. Kita tidak berteman kan? Itu lebih baik supaya kau tidak terjerat lingkaran setanku."
"Jadi, mana hobi yang lebih mematikan? Mengantar arwah atau menonton kuda lumping?" tanya seseorang dari tempat persembunyiannya
KAMU SEDANG MEMBACA
Fantasi Malam (Terbit)
Short StoryPelupuk mata telah basah sepenuhnya. Mendiami mata lampu, mengapa kau tak katakan padaku? Kelamnya masa lalu, rindu yang menggebu dan alasan dibalik bercak ungu? Ada yang janggal, saat kau katakan telah bertemu ajal. Aku berteman dengan setan? Ah, t...