Fajar telah menyingising. Sang Surya mulai beranjak naik. Namun, Fai masih terbenam dalam lamunannya. Rasa cemas, takut dan khawatir terlihat di raut wajahnya. Ingin rasanya Fai tidak masuk hari ini, tapi ia menyayangkan daftar kehadirannya yang harus berhiaskan tanda Alfa. Lagipula, seharusnya Fai tidak boleh lari dari semua ini. Sampai kapan terus menghindar? Bukankah harusnya Fai menghadapi.
Fai menatap jam dindingnya. Ia mengambil keputusan bulat, bahwa ia tetap harus berangkat sekolah apapun yang terjadi nanti.
•
•
•
Sesaat di gerbang sekolah, perasaan Fai semakin tak karuan. Ia memberanikan diri melangkahkan kakinya masuk ke halaman sekolah. Benar saja, tatapan tak suka dari siswi-siswi di sekolah itu mulai dirasakan Fai. Jantung Fai berdetak kencang. Di ujung lapangan ada Kania dan teman-temannya yang sepertinya memang menunggu kedatangan Fai. Fai menunduk semakin dalam. Ia sangat takut nasibnya akan sama dengan siswi setahun yang lalu. Ia harus pindah sekolah karena tak tahan dengan bully-an Kania dan teman-temannya.
Ya Allah, lindungi Fai.
Fai terus berjalan tanpa memperdulikan sekitarnya. Hingga ia merasakan seseorang menghadang langkah kakinya. Fai mengangkat kepalanya. Sorot mata Kania langsung tertangkap oleh Fai. Gadis itu dengan cepat menarik Fai ke suatu tempat diikuti teman-temannya.
"Lepasin aku, Kak," mohon Fai. Tapi Kania tak menghiraukan, ia membawa Fai ke lorong arah toilet sekolah. Sesampainya di sana Kania dan teman-temannya, mendorong tubuh Fai dengan keras hingga membentur dinding. Kania menarik jilbab Fai membuat gadis itu menangis.
"Gue udah pernah peringatin lo! Gosah godain Reyhan. Masih aja lo ya, dasar jala*g!"
Fai tak mampu berkata-kata ia hanya menangis memegangi kepalanya yang terangkat karena tarikan Kania. Kini pipi Fai yang dicekalnya. Gadis itu menatap Fai dengan penuh kebencian.
"Jijik gue sama lo!"
Teman-teman Kania yang sedari tadi diam mulai bereaksi. Mereka mendekat ke arah Fai dan ikut menarik jilbab Fai hingga terlepas. Fai berusaha mempertahankannya namun apa daya Fai menghadapi lima gadis itu, sedang ia seorang diri.
"Jangan, Kak."
"Brisik lo, anj*!" Kania mendorong tubuh Fai hingga terjatuh. Ia mengibaskan jilbab Fai sambil menyeringai. "Apa yang lo tutup pake ini? Nutupin sikap jala*g lo! Gak guna!"
Fai berdiri mencoba mengambil kembali jilbabnya, namun tak berhasil. Teman-teman Kania langsung menghalangi Fai. "Jilbab aku ...."
Kania mengibaskan rambutnya sambil mencincing jilbab putih Fai. Ia tersenyum puas melihat air mata Fai yang terus berderai.
"Mau ini? Gue buang aja gimana?" ucapnya sambil tertawa. Namun, kemudian seseorang tiba-tiba mengambil jilbab Fai dari tangan Kania. Kania langsung berbalik melihat orang itu. Sementara Fai melakukan apa saja untuk menutupi kepalanya, meskipun menggunakan tas sekolahnya.
"Kalo lo belum mampu make ini? Gosah resehin orang deh." Fathir menatap sinis Kania dan teman-temannya. Bukan Kania namanya jika ia tak kenal Fathir. Bagaimana pun, Fathir juga menjadi sosok incarannya dan teman-temannya.
"Fathir lo jangan ikut campur deh, lo tuh gak tau sifat asli ni cewe. Jala*g kek dia gak perlu dibelain."
Fathir menatap malas Kania. Jijik sekali mendengar ucapannya yang sok tau itu. "Udah? Kalo udah selesai bacot pergi sana. Muak gue liat lo!"
Kania melotot mendengar ucapan Fathir barusan. Ia menoleh ke arah Fai. Perasaan bencinya semakin menjadi karena pembelaan Fathir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelas Kaca
DuchoweFai tak menyangka, pertemuan dengan seorang kakak kelas akan menjadi awal dari kisah bersejarah di hidupnya. Seseorang yang mampu memberi warna baru di setiap hari-harinya. Meskipun Fai sendiri tak tau, kisahnya akan berakhir dengan warna pelangi at...