PROLOG

44 2 0
                                    

Assalamualaikum, all.

Welcome to my second story.

Cerita ini gak ada sangkut-pautnya dengan cerita Nad yang pertama ya (AZKAREN).

Kalau dicerita pertama tentang anak basket dan cewek tomboy, tapi dicerita kedua ini tentang anak gang motor dan gadis sederhana.

Menarik gak?

Untuk part ini mungkin agak sedikit. Yaps, karena prolog.

Tapi, tenang aja. Dipart selanjutnya akan lumayan panjang seperti biasanya

Semoga cerita ini feelnya dapat, ya.

Oke, langsung aja baca.
Sebelum itu, jangan lupa vote dan komen. Share cerita ini ke akun medsos yang kalian punya juga ya.

Tandai jika typo.

Happy Reading ✨

 ***


Suara derap langkah semakin dekat dengan kamar seorang gadis berusia sembilan belas tahun. Gadis itu mencengkeram buku mata pelajaran bahasa Inggrisnya.

Pandangannya berpindah ke pintu kamar yang sebentar lagi dibuka oleh seseorang dari arah luar.

Ceklek!

"Mana duit untuk saya?" Suara dingin yang keluar dari mulut pira berumur empat puluh lima tahun tersebut berhasil membuat Retta menundukkan wajahnya.

"Du-duit Retta u-udah habis, yah," cicit Retta. Cewek dengan kuncir satu tak berani menatap wajah ayahnya.

Pria itu berjalan mendekat dan memukul meja belajar Retta hingga mengeluarkan bunyi yang sangat nyaring. Retta terkejut akan hal itu.

Brak!

"SAYA BUTUH DUIT ITU SEKARANG!" bentak Irawan — ayah Retta.

Retta mencengkram ujung baju yang dikenakannya. Baju berwarna ungu dengan garis-garis biru.

"Kemarin duit gajian Retta udah dikasih semua ke ayah. Sekarang Retta benar-benar gak punya duit, yah."

Pernyataan Retta berhasil membuat Irawan murka. Irawan mengepalkan kedua tangannya, wajahnya memerah pertanda marah.

"JADI, KAMU GAK IKHLAS KASIH AYAH DUIT? ASAL KAMU TAU, AYAH SUDAH MENGELUARKAN BANYAK DUIT UNTUK MEMBESARKAN MU DAN SEKARANG INI BALASAN KAMU?" bentak Irawan menohok. Irawan memegang kuat rahang putrinya.

Perlakuan demikian kerap sekali Retta dapatkan.

"B-bukan gitu, yah. Kalau Retta punya duit pasti langsung kasih ke ayah ... lagipula, duit itu untuk ayah judi, kan?" lirih Retta di akhir ucapannya. Retta pastikan ayahnya sangat marah.

Setiap pulang sekolah, Retta selalu bekerja di sebuah restoran. Gajinya tidak bisa dibilang tinggi, tapi itu cukup untuk biaya makan sehari-hari. Namun, setiap hari ayahnya selalu meminta duit kepadanya. Padahal, semua gaji Retta bekerja selalu dikasih semua ke ayahnya.

Bermain judi dan meminum minuman keras suatu kebiasaan buruk ayahnya. Ya, itu semua menggunakan gaji Retta. Ayahnya akan marah jika Retta tidak memberinya uang.

"UNTUK APA DUIT ITU TERSERAH AYAH! YANG TERPENTING KAMU KASIH AYAH DUIT!"

Tiba-tiba saja ada seorang lelaki masuk ke kamarnya. Lelaki yang usianya selisih satu tahun dengan Retta. Lelaki itu menyenderkan punggungnya di pintu seraya melipat kedua tangannya.

"Bohong past, yah. Cek aja di dompetnya pasti banyak yang warna biru kalau gak, ya merah," ucap Dirga Gentala Tamawijaya, kakak Retta yang memiliki sifat hampir mirip dengan ayahnya.

Retta menggelengkan kepalanya, "Gak ada, yah. Kemarin abang juga lihat sendiri dompet Retta pas abang minta duit ke Retta."

Irawan meraih dompet Retta yang berada di dalam laci meja belajar. Irawan sudah hafal dimana biasanya putrinya itu meletakkan dompet ketika berada di kamar.

Dibukanya dompet lipat tersebut. Irawan mengangkat satu alisnya kala melihat selembar uang berwarna hijau dari dalam dompet anaknya.

"INI APA? UDAH BERANI, YA KAMU BOHONG KE AYAH!"

"Benar, kan apa kata Dirga. Pasti dia masih punya duit," sahut Dirga.

Irawan memasukkan duit itu ke saku jaketnya.

"Jangan diambil, yah. Itu untuk Retta jajan di kantin sekolah sama bayar buku." Retta tidak bisa berbuat apa-apa saat kedua pria tersebut berdiri tepat di hadapannya.

"Murid pintar kayak lo gak perlu beli buku. Lagian, lo juga punya banyak teman, kan di sekolah? Minta aja jajan sama teman-teman lo itu," ucap Dirga cukup menohok.

Dada Retta terasa perih. Dua pria yang seharusnya melindunginya malah memperlakukannya kasar. Ayahnya yang selalu marah kalau Retta tidak memberikan duit dan juga abangnya yang sering memaksa Retta untuk memberikan berapapun nominal duit yang Retta punya.

Kehidupan Retta waktu bersama ibunya sangat berwarna. Ibunya memperlakukannya dengan baik dan penuh kasih sayang. Namun, kehidupan Retta di kota besar ini berbeda tiga ratus enam puluh derajat dibandingkan kehidupannya di pedesaan.

Retta lelah. Retta tak tahan dengan semua ini. Saat malam tiba, Retta merasa sendiri. Retta bercerita bersama angin malam bahwa ia ingin menyusul ibunya.

Kalau boleh jujur, Retta ingin seperti anak perempuan lainnya yang mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah. Pergi mengunjungi tempat pariwisata, mendatangi pasar malam dan juga tempat bercerita tentang hari-hari yang dijalaninya kepada seorang ayah. Sepertinya, itu semua sulit untuk Retta dapatkan.

Retta hanya tersenyum kala melihat teman-temannya menceritakan tentang sosok ayah.

Bagi Retta, Irawan adalah ayah yang paling baik dan ayah yang hebat. Dirga di mata Retta juga abang yang penyayang dan perhatian kepadanya.

Brak!

Kedua pria itu keluar setelah mendapati apa yang mereka inginkan. Retta terlonjak karena abangnya menutup pintu dengan kencang.

Tanpa diperintah, cairan bening keluar dari kedua mata indahnya.

"Retta capek, ibu. Retta gak kuat. Retta mau nyerah boleh, gak?"

***

***

Okey, sampai sini dulu ya untuk prolognya.

Jadi, apa yang kalian ketahui di part ini?
Tebak aja juga boleh kok.

See u next part.

AURETTA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang