4. Moving forward is just about letting go of the past

280 29 0
                                    

Dear MyLan!


Has this wonderful reading adventure captivated you? Have you been swept away in this world of stories full of charm?If so, feel free to share your opinions and impressions in the comments!

Grab a blanket, get comfy, and enjoy the read!


°°° Back Home °°°


Davian meletakkan dua buah koper yang berisi barang-barang miliknya dan Liana. Ini hanya liburan singkat, bisa dikatakan sehari semalam. Davian mengajak Liana ke tempat di mana tidak banyak yang tahu ia lahir dan dibesarkan. Liana hanya sekali bertemu keluarganya saat pernikahan mereka berlangsung.

"Mau sampai kapan kamu melamun terus?" Liana menarik perhatian Davian yang hanya diam setelah meletakkan kopernya di bagasi. Davian segera menutup pintu bagasi, ia ikut menyusul Liana untuk duduk di dalam mobil. Di balik kemudi, Johnny sudah menyalakan mobil.

"Kita mau kemana sebenarnya, Dav?" Liana membuka suara setelah lama memandangi jalanan yang ramai, dengan banyak orang-anak yang berangkat sekolah dan sebagian besar karyawan yang pergi bekerja.

"Kalau aku bilang rahasia, tandanya nggak boleh!" Davian tidak yakin untuk sebuah kata rahasia itu. Tapi ia berusaha membuat Liana penasaran, terlihat dari wajahnya yang tampak bertanya-tanya. "Serius nggak mau kasih tau?" Liana menyipitkan matanya, hal itu membuat Davian terkekeh kecil. Ia jadi teringat betapa repotnya Liana pagi tadi, siap-siap tanpa sempat mengeringkan rambutnya yang masih lembab.

"Bandara, kita ke bandara," goda Davian sekali lagi, berhasil membuat Liana memalingkan wajahnya, mungkin marah. Entah, pagi ini hanya perasaan Davian atau memang Liana terlihat lebih manis dan menggemaskan. Jarang-jarang gadis itu bersikap manis dan kekanakan secara bersamaan.

Samar-samar Johnny di balik kemudi memperhatikan percakapan mereka. Johnny tahu betapa bahagianya Davian, sahabat sekaligus bosnya di kantor, akan menikah dengan pujaan hatinya.

Perjalanan yang mereka lewati akhirnya usai setiba di Bandara. Liana buru-buru turun, mungkin ia akan mendapatkan informasi tentang tujuan penerbangan mereka. Johnny membantu Davian mengeluarkan koper terlebih dahulu.

"John, titip kantor. Besok perkiraan kita udah balik." Pamit Davian sambil mendekat. Liana hanya berniat memberi salam karena Johnny sudah mengantar mereka, tetapi Davian dengan cepat menarik pinggangnya dan melangkah untuk check-in tiket pesawat.

Tuntas menghabiskan waktu di bandara, kini mereka sudah duduk di salah satu bangku pesawat. Liana yang duduk tepat di depan jendela hanya diam sejak tadi, sejak dia tahu kemana penerbangan mereka.

"Lin, aku cuma mau kamu ketemu keluarga ku. Ayah, Ibu udah tanyain kamu," ucap Davian sambil mengusap tangan perempuan itu. Sementara satu tangan gadis itu mencengkram ujung kursi dengan cemas.

Bukan persoalan Liana tidak mau bertemu keluarga Davian. Liana hanya tidak mau kembali secepat ini. Kedatangannya yang tiba-tiba berhasil mengorek masa lalu Liana.

"These are our memories, Lian. Just remember that," bisik Davian, mencoba meyakinkan Liana. Toh, Davian juga tidak bermaksud mempertemukannya dengan orang yang terus mengirimkannya pesan.

"Maaf kalau perjalanan kita ini buat kamu enggak nyaman. Tapi aku enggak punya maksud apapun selain ketemu keluarga aku. Take care, babe."

°°° Back Home °°°

Menghabiskan waktu 6 jam transportasi, akhirnya Liana dan Davian tiba di bandara. Keduanya berdiri saling menunggu. Namun, ketika beberapa taksi yang lewat tidak dihentikan Davian membuat perempuan itu menoleh.

"Ada yang jemput kita, Dav?" tanya Liana membuat Davian mengangguk, ia sibuk dengan ponselnya sejak tadi. Sesekali melihat kesana kemari memastikan sesuatu.

"Davian!" Liana lebih dulu menoleh menemui seseorang melambaikan tangan, di belakangnya terdapat mobil van hitam yang sudah siap mengantar mereka ke tempat tujuan.

Hujan deras mengguyur, menciptakan irama ritmis yang mengiringi suasana hati yang penuh beban. Udara dingin meresap, seolah mencerminkan perasaan yang mereka bawa. Davian melihat jam di ponselnya yang mati, lalu menghela napas panjang.

"Atlas, aku kira kamu telat. Soalnya kamu enggak bisa dihubungi," kata Davian, mengangkat ponselnya yang mati.

Atlas mengangguk, "Ponselku mati."

Davian berdecak payah, lalu cepat-cepat bertos ria dengan temannya yang berambut pirang itu, memeluknya erat seperti karib yang lama tak bertemu.

"Liana, kenalin ini Atlas. Teman kuliahku dulu," ujar Davian, membuat Liana tersenyum memperkenalkan diri. Atlas, dengan sopan, memperkenalkan dirinya juga.

"Wajar dia nggak datang di acara kita. Sibuk tidur dia," candanya, menyikut bahu temannya itu. Meski bercanda, Atlas senang melihat Davian dengan istrinya.

"Udah, ayo masuk. Makin panas di sini," kata Atlas sambil membantu Davian memasukkan barang bawaan ke dalam bagasi.

Setelah memastikan semua duduk nyaman di kursi masing-masing, Atlas menghidupkan mobilnya dan melaju menuju kediaman keluarga Keegan.

"Dav, aku ngantuk," bisik Liana, menyandarkan kepalanya di bahu Davian. Pria itu menoleh dan merenggut bahu Liana, menempatkan lengannya sebagai sandaran. Davian mengusap rambut panjang istrinya dengan lembut.

Atlas melirik mereka dari cermin tengah, melihat betapa manisnya Davian memperlakukan Liana, gadis yang dulu menjadi bahan pembicaraan utama mereka saat kuliah. Davian benar-benar berhasil menaklukkan hati gadis itu.

"Bahagia sekali kelihatannya," kata Atlas, mengamati mereka, sambil melirik Davian di cermin tengah.

"How could I not be happy? She smiled at me when I caught her eye. She's so adorable," jawab Davian dengan senyum lebar. Atlas tahu betapa besar cinta Davian kepada Liana.

Dulu, bersama Johnny dan Nathan, mereka sering berpikir bahwa Davian tak akan pernah bersatu dengan Liana. Gadis itu dikenal kutu buku, enggan ikut campur candaan siapapun. Hanya tatapan indah dan seragam sekolah menengah atas yang menjadi bahan tertawaan mereka, karena mereka sudah menginjak dewasa dan gadis yang Davian cintai adalah siswa baru di kelas 10.

"Dav?" panggil Atlas, menatap sahabatnya.

"Everything all right?" Atlas belum pernah kembali ke Seattle, terlalu sibuk dengan keluarganya sendiri sampai-sampai melupakan sahabatnya. Pria itu melihat tatapan kosong Davian yang menerawang keluar jendela.

"Apa Liana sudah bisa melepaskan semuanya?" tanya Atlas dengan suara lembut. Davian tidak segera menjawab, hanya menatap ke luar jendela dengan tatapan yang berat.

"Maaf, Dav. Aku hanya ingin tahu keadaanmu," kata Atlas, merasa tidak nyaman namun tetap melirik sahabatnya. Hembusan napas Davian terdengar berat, membawa rasa iba dalam hati Atlas.

"Aku rasa yang penting sekarang itu fokus ke depan dan pelan-pelan ngelupain masa lalu," jawab Davian akhirnya, suaranya terdengar tenang namun penuh beban.

Stay tuned for the next chapter!

Yuk kenalan sama si ganteng Atlas!

Yuk kenalan sama si ganteng Atlas!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Back Home [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang