01| Satu Langkah Keberanian

40 8 15
                                    

"Kalo Mami kasih tau dulu, nanti Ami nggak mau ikut!"

Bunyi sepatu yang dibanting setelah dilepas menjadi respons yang terdengar setelah alasan setengah teriakan itu bergaung di udara. Seorang cewek mengentak-entakkan kaki memasuki rumah meninggalkan wanita paruh baya yang kini menatap punggung sang anak dengan pandangan setengah hampa.

"Ami, 'kan, udah bilang ... Ami nggak mau ketemu sama om siapa pun itu yang Mami sebut. Kenapa masih temuin Ami sama dia?"

"Dia yang kamu sebut itu, calon papi tiri kamu, Ami!" sembur sang wanita secepat kilat. Terlihat Ami yang kini menaiki anak tangga tak sabaran. Bahkan kepalanya tak menoleh sedikit pun ke belakang. "Mami nggak suka sama tingkah nggak sopan kamu kayak tadi! Malu-maluin!"

Blam.

Kali ke sekian, wanita dengan tubuh sedikit berisi itu menghela napas berat. Ia menumpu tangan kiri pada sandaran sofa, lalu duduk setelahnya. Tatapannya menerawang ke arah pintu yang semula Ami banting. Dia tersenyum getir. Setidaknya, Eva sudah berusaha.

***

Kedua alis itu menukik. Matanya ikut menyipit sedikit menajam. Hidung yang kembang-kempis serta mulut yang terjulur ke bawah, menandakan sang pemilik wajah sedang dilanda kekesalan yang luar biasa.

Langkahnya membawa ia pada meja rias di sebuah ruangan. Amitha meneliti dirinya lewat pantulan cermin setengah badan. Kedua tangan bertumpu di sisi deretan wewangian. Perlahan dia mengepal, menyalurkan segala kesal yang tak bisa lagi ia tahan.

Nggak sopan? Di mana letak nggak sopannya?

Amitha mendelik. Teringat sangat jelas, bagaimana pria tua itu mencoba menarik perhatiannya. Bertanya ini, bertanya itu ... tidakkah pria itu sadar, betapa Amitha merasa terganggu dengan setiap pertanyaan yang dilayangkan?

Lalu apa kata maminya? Calon papa tiri? Demi apa pun, Amitha tak akan mengamini sekali pun hanya dalam hati. Ia tak ingin mami menikah lagi ... kenapa beliau tak jua mengerti?

Persetan dengan sopan santun! Sekali Amitha tidak suka, ia akan tetap seperti itu. Amitha tak akan bermuka dua, dengan menyambut hangat pria yang 'katanya' calon papi barunya itu, sedangkan di belakang Amitha bertingkah sebaliknya.

Amitha membuang napas keras. Matanya bekerling ke pintu kamar mandi sekali, lalu kembali memandangi diri lewat cermin. Sepertinya, ia butuh mendinginkan tubuh dan pikirannya segera.

***

"Katanya, bank di sini tuh udah penuh, ya? Ada yang bakal ditempatin di luar kota? Siapa?"

Cewek dengan rambut digerai tiba-tiba mengernyit dalam lamunan. Apa ia tidak salah dengar? Siapa murid yang akan ditempatkan di luar kota? Jangan-jangan dirinya? Segera saja, ia bergeser lebih dekat ke arah temannya. Membahas rumor yang terdengar dari arah belakang.

"La, emang bener ... bakal ada yang di tempatin di luar kota?"

Yang ditanyai melirik sekilas. Sebelum kembali memandang fokus ke depan memperhatikan seorang guru yang mulai berjalan ke podium tak terlalu besar. Pagi-pagi sekali para siswa kelas sebelas sudah dikumpulkan di Aula. Yang pasti, untuk membahas kegiatan PRAKERIN lebih lanjut.

Praktek Kerja Industri, atau PRAKERIN merupakan kegiatan yang diupayakan dari sekolah yang melibatkan siswa-siswi khususnya SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) dan dilaksanakan di dunia industri (biasanya selama tiga bulan) untuk tujuan pendidikan.

Jika beberapa dari mereka ada yang ditempatkan di luar kota, artinya mereka harus menyewa sebuah kamar kost selama mereka menuntaskan masa PRAKERIN-nya, bukan?

"Katanya, iya. Aku baru denger kabarnya juga. Kalo siapa-siapanya, aku belum tau. Semoga bukan aku ...."

Oh, tidak. Amitha tidak mau jika harus hidup mandiri tanpa adanya sang mami. Ia sangat berdoa, semoga bukan dirinyalah yang menjadi kandidat siswa-siswi yang ditempatkan di sana.

"Selamat pagi, Anak-anak."

Amitha mendapat kesadaran sepenuhnya. Ia memfokuskan atensi pada sang guru yang berbicara di depan sana. Dengan beberapa kertas di tangan, guru bernama Mety itu kembali membuka suara dengan berbicara langsung ke intinya.

"Anak-anak, karena bank di sini sudah penuh oleh sekolah lain yang juga melaksanakan PRAKERIN, terpaksa Ibu harus memilih beberapa dari kalian yang akan Ibu tempatkan di luar kota, ya."

Terjawab sudah. Terlihat sebagian siswa terlihat panik dan mulai berbisik-bisik. Sepertinya mereka tak ingin ke luar kota. Entah apa alasannya, tapi Amitha pribadi, ia hanya tak siap jika harus hidup mandiri.

"Sebelum Ibu memilih random dan memutuskan siapa-siapa saja yang Ibu maksud, adakah dari kalian yang bersedia dan siap untuk menuntaskan PRAKERIN di luar kota?"

Tiba-tiba saja, sekelebat memori hari kemarin berputar di kepala. Entah sudah berapa hari, Amitha mulai muak tinggal di rumahnya sendiri. Tak lain, alasannya jatuh pada kejengkelan Amitha terhadap bersikeras sang mami untuk mendekatkan dia dengan calon ayah tiri. Mereka juga harus terlibat cekcok melelahkan karena perkara yang sama setiap jamnya.

"Gimana? Nggak ada?"

Apakah ini jawaban dari Tuhan atas doa Amitha agar segera dijauhkan dari calon ayah tirinya?

"Ke luar kotanya ke mana, Bu?"

Seorang siswa menarik atensi semua orang di Aula. Mety kembali berbicara dengan suara lantangnya. "Nggak jauh, cuma di Tasikmalaya. Kalo nggak pulang-pergi, kalian bisa kost di sana. Makanya Ibu tanya dulu, karena pasti hidup di sana butuh lebih banyak biaya. Kalian yang nggak keberatan, mau, dan mampu secara materi, mental, dan sebagainya ... coba acungkan tangan. Sekalian nyari pengalaman baru, bukan."

Riuh rendah siswa-siswi yang ada di sana menjadi dominasi suara di antero Aula. Bisikan, ajakan, hingga rayuan tak luput terdengar oleh telinganya. Amitha mulai melirik sekitar, beberapa menit berlalu Mety mendapatkan dua nama atas dasar suka rela.

"Oh, iya. Ibu cuma butuh empat orang buat ditempatkan di sana. Berarti tinggal dua orang lagi. Siapa yang mau?" Mety menatap tiap kepala bergantian. "Praga, kamu sebenarnya domisili Tasikmalaya, bukan? Kamu mau prakerin di kota asalmu?" lanjutnya seraya memfokuskan atensi pada seorang cowok yang duduk agak sudut di kanan belakang.

Amitha menanti. Lalu, saat Praga mengangguk menyanggupi, perasaannya semakin tak karuan. Kini tinggal satu orang lagi yang bu Mety butuhkan. Amitha sangat bingung. Di satu sisi, ia sangat ingin mengambil kesempatan emas ini sebagai upaya menjauh dari suasana rumah yang tercemar karena calon papa tiri. Tapi, di sisi lain, ia belum benar-benar siap baik dari segi mental, atau pun keberanian.

"Satu orang lagi, nggak ada nih? Kalo nggak ada, Ibu terpaksa pilih kalian secara random dan—"

"Saya, Bu!" Amitha mengacungkan tangan tinggi-tinggi. Mungkin memang ini salah satu jalan Amitha menuju ketenangan. Lagipula, hidup sendirian tidak terlalu buruk, bukan? Harusnya Amitha mampu akan hal itu. Ia memantapkan hati sebelum berkata final. "Saya siap ditempatkan di Tasikmalaya."

***

Hellaw~

Adakah anak SMK juga di sini? Pasti udah nggak asing sama yang namanya prakerin, ygy. Pas jamanku namanya PKL (Praktik Kerja Lapangan), sih, tapi sama aja intinya hwhw.

Buat yang belum tau, prakerin tuh singkatnya semacam magang gitu. Bedanya, magang biasanya dikasih gaji (CMIIW), kalo prakerin nggak, lol. Ngga deng, tergantung perusahaan, biasanya. Aku juga dulu pernah dapet duit kok, meski cuma 35k /plak. Malah curhat.

Anw, ari pertama ODOC, nih, kuat sampe akhir, aamiin.

Last, terima kasih buat yang udah mampir!

Salam,
Rismacakap

PRAKERINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang