Setelah perjalanan kurang lebih lima belas menit, sepasang sejoli akhirnya sampai pada sebuah KCP (Kantor Cabang Pembantu) di jalan Siliwangi. Amitha menunggu Praga yang tengah memarkiran sepeda motor agar bisa menemui security bersamaan. Sekilas Amitha memperhatikan tempat di mana ia akan bekerja selama tiga bulan ke depan. Di tengah lamunanya, ia menyelipkan sebuah doa agar selalu diberi kelancaran dan kemudahan,
"Ayo."
Amitha menoleh ke kiri, mengangguk sekali lantas mengekor Praga dengan tinggi yang menjulang di depannya. Tiga langkah hampir sampai di depan security yang sedang berjaga, Amitha tersandung karena tidak memperhatikan jalan.
Praga membalikkan badan, refleks berjongkok karena Amitha mengeluhkan rasa sakit di area pergelangan kakinya. Security menghampiri, mempersilakan Amitha untuk duduk di bangku luar. Praga menuntun Amitha bahkan membantu cewek itu untuk melepaskan pentofel di kaki kanannya.
"Teu kunanaon, Neng?" (Nggak papa, Neng?)
Amitha mendongak setelah meringis pelan. "Nggak pa—ah, Ga ...." Ucapan Amitha tak terselesaikan karena Praga sedikit menekan bagian dari pergelangan kakinya.
"Tijalikeuh jigana, Pak," (Terkilir kayaknya, Pak,) jelas Praga melirik pria di belakang tubuhnya sekilas.
"Euh, kompres hela atuh, Jang. Tuh, ngagaleuh es batu ti tukang kalapa muda di payun. Karunya ieu si Neng meni kanyeunyerian kitu ...," (Dikompres dulu, Nak. Itu, beli es batu dari penjual kelapa muda di depan. Kasian si Neng sampai kesakitan gitu ...,) saran pria yang diketahui bernama Ade itu.
Praga mengangguk, ia lantas berdiri berniat berlari saat Ade menyela, "Eh, kela! Jigana aya di lebet, urang tingali hela." (Eh, tunggu! Kayaknya ada di dalem, biar diliat dulu.)
Ade berlalu, Praga kembali berjongkok memijat pelan kaki Amitha. "Yang sakit, di sini, ya?" Amitha terdiam sejenak. Ia justru memperhatikan Praga dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia terenyuh dengan segala tindakan Praga untuknya. Cewek itu heran dengan dirinya sendiri. Padahal, pentofel yang digunakan tidaklah dengan hak tinggi.
Praga mendongak, Amitha sedikit salah tingak karena dipergoki sebegitu cepatnya oleh cowok di hadapannya.
"Di sini?" tanya Praga memastikan.
Amitha mengumpulkan kembali sisa kesadarannya. "Ah, eh, iya. Di sana, Ga."
Ade kembali dengan segenggam es batu yang dibungkus oleh sapu tangan kecil berwarna kuning, ia menyerahkannya pada Praga. "Yeuh, Jang." (Nih, Nak.) Ade terpaksa kembali berjaga di depan pintu masuk karena beberapa nasabah mulai berdatangan kembali.
Setelah mengucap terima kasih, Praga meminta izin Amitha untuk melepaskan kaus kakinya. Tentu saja, dengan raut tak enak Amitha mengizinkan.
Beberapa menit dilalui dengan keheningan, Amitha memalingkan muka saat Praga sesekali mendongak memperhatikan dirinya. Meski sedikit canggung, ia akui Amitha cukup nyaman diperlakukan seperti sekarang.
Namun, mereka tak bisa berada di situasi saat ini lebih lama lagi. Amitha yang baru sadar saat ia menyadari jam sudah menunjuk pukul sembilan lewat. Sudah sejam lebih sejak dimulainya operasional. "Ga, udah siang ...."
Praga refleks melirik arloji. Sepertinya cowok itu pun baru menyadari waktu yang ia lewatkan terbilang sangat banyak. Ia mendongak seraya menyimpan es batu yang sudah cukup mencair ke bangku yang diduduki Amitha. "Emang kakinya udah baikan? Kalo belum, mungkin—"
"Udah, Ga. Ayok, kita ke dalam sekarang aja." Sebenarnya Amitha hanya tak enak hati jika mengatakan kakinya masih sedikit sakit. Ia tak mau membuang waktu Praga terlalu banyak. Ia telah mereepotkan cowok itu. Amitha tidak ingin terlalu manja dengan merepotkan Praga lebih banyak lagi.
Praga membantu Amitha untuk bangkit. Mereka menghampiri Aji, lalu pria itu menyambut keduanya dengan sangat baik. "Sampeanna atos teu nyeuri, Neng?" (Kakinya udah nggak sakit, Neng?) tanyanya ramah.
Amitha mengangguk kaku. Kenapa ia mendadak gagu seperti ini?
"Hapunteun sateu acanna, Pak. Saleresna mah, arurang ka dieu teh sabab dikintun ku bu Tiara, saurna piwarang pendakkan ibu Laela. Ibu Laela-na aya di lebet, Pak?" (Minta maaf sebelumnya, Pak. Sebenarnya, kami ke sini karena dikirim oleh bu Tiara. Kami disuruh untuk menemui ibu Laila. Ibu Laila-nya ada di dalam?) tanya Praga mewakili. Pada satu kesempatan, ia melirik Amitha untuk memastikan cewek itu baik-baik saja.
"Oh ...," Ade mengangguk. Ia lantas membuka pintu masuk untuk dirinya sendiri."Antosan sakedap, nya. (Tungguin benntar, ya.)
Tak sampai sepuluh menit, Ade kembali seraya mempersilakan keduanya untuk masuk. Lalu, ramainya nasabah menjadi pemandangan mereka sejenak sebelum seorang head office memanggil keduanya untuk mendekat.
"Kiriman dari bu Tiara, ya? Nama kalian siapa? Asalnya dari sekolah mana?"
***
"Ji, anjir! Mun jauh kieu, moal tahan ari kudu pulang-pergi ti Indihiang mah. Can ku ongkos, can ku waktu. Asa mending cari kost wae, enya teu?" (Ji, anjir! Kalo jauh gini, nggak kuat kalo hasur pulang-pergi dari Indihiang. Belum dari ongkos, belum waktu yang dibutuhin. Kayaknya, lebih baik cari kost aja, iya nggak?"
Kedua sejoli tengah menikmati makan siang di tempat khusus saat waktu istirahat telah tiba. Si cewek mengeluh karena perjalanan panjang yang mereka tempuh cukup membuat Rahel khawatir karena jika dari rumah jaraknya nyaris sejauh sepuluh kilometer.
Sebelumnya mereka pun tidak menyangka tempatnya akan sejauh ini. Terlebih, mereka bukan asli orang Tasikmalaya, yang artinya jika mereka tidak mengikuti petunjuk dari google maps, mereka tidak bisa membayangkan akan menyasar di mana.
"Heeh, atuh. Maneh neangan kost we atuh deket urang. Tawa jeung si Amitha bareng di kost nu kamari. Ripuh ari mun kudu didugdag mah, karunya ka manehna oge." (Iya, atuh. Kamu cari kost aja deket aku. Atau sama Amitha di kost yang kemarin. Repot kalo harus pulang-pergi, kasian ke kamunya juga.)
Tapi, yang mereka syukuri yaitu para pegawai di sana yang begitu wellcome pada mereka. Bahkan di hari pertama mereka masuk, keduanya ditraktir makan siang sebagai ucapan penyambutan karena akan ikut bekerja selama tiga bulan ke depan. Apa yang mereka bayangkan sebelumnya—tentang pegawai yang nyinyir, dan sebagainya—rupanya tidak ada. Mereka mendapat respons positif di lingkungan kerjanya.
"Kalian nanti kalau pulang, ikut ke mobil back up aja. Teller di sini, 'kan, harus ke kantor cabang juga, kasihin laporan ke atasan. Jadi kalian bisa sekalian ikut. Pokoknya, soal pulang ke rumah, kalian jangan khawatir. Apalagi, katanya kalian asli tinggal di Indihiang. Pasti nggak banyak tahu soal jalan di Tasikmalaya, iya, 'kan?"
Baru saja mereka membahas kebaik hatian para karyawan, head office di kantor menghampiri mereka yang tengah menikmatimakan siang. Aji dan Rahel mengangguk anusias seraya mengucap terima kasih. Mereka jadi penasaran, bagaimana kabar Amitha dan Praga di tempat kerjanya hari ini?
***
Hellaw~
As always, makasi udah mampir!
Salam,
Rismacakap.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAKERIN
Fiksi RemajaAmitha muak dengan tingkah mami yang serupa ABG baru kasmaran. Demi apapun ia tak akan memberi izin mami untuk menikah lagi. Bagai kesempatan emas, ia mendapat instansi-sebagai tempat pelaksanaan prakerin-di luar kota. Setidaknya, ia bisa tenang kar...