Cewek bermata kecil itu memicingkan mata dengan mulut tetap mengunyah seblak yang baru saja dibuatnya. Bocah di hadapan bertingkah seperti orang yang kelaparan. Amitha terbilang tidak pandai memasak. Ia hanya memanfaatkan video-video yang lewat di beranda TikTok sebagai referensinya. Tapi, melihat Azka makan dengan selahap ini, Amitha yakin ia mampu menjadi Cheff di kemudian hari.
"Azka, kamu itu loh, masih bocah kok doyan seblak. Mana pedes, lagi."
"Emang ada aturannya, kalo seblak harus dimakan sama orang dewasa, Mbak?" sahutnya dengan melirik sekali. Wajahnya sudah merah padam menahan sensasi panas karena pedas sambal dari seblaknya.
"Ya, nggak. Cuma ... jarang aja bocah ingusan suka makan seblak pedes. Kalo mami tau, dimarahin deh kamu. Awas aja kalo nanti salahin Mbak yang ngasih sambelnya kebanyakan. Toh, itu kamu yang minta."
"Mbak bawel banget. Lagian, Azka udah nggak ingusan."
Amitha menggeleng kecil. Adiknya ini tak ubahnya seorang bocah sok yang kerap kali membuat Amitha geleng-geleng kepala. Untuk sesaat, keduanya makan dengan ketentraman. Segelas susu sudah Azka siapkan untuk menghalau rasa pedas setelah menandaskan seblaknya.
"Azka, kamu setuju, nggak, kalo misal mami nikah lagi?"
Bocah gempal itu mengangguk-anggukan kepala. Sedang Amitha dibuat melongo di tempat. Baru saja ia memancing dengan pertanyaan asal, Azka menimpali dengan ringannya.
"Loh, kenapa? Kamu mau punya dua mami sama dua papi?"
Azka meraih gelas, menggenggamnya dengan kedua tangan seraya bertanya, "Kenapa nggak? Enak, dong. Azka jadi dapet duit lebih banyak nanti."
Amitha berkedip sekali.
Seolah tak cukup, Azka kembali berujar dengan santainya. "Nenek bilang gitu ke Azka."
Amitha mengerjap. Dasar otak bocah. Jika sudah terdoktrin dengan uang, bagaimana Amitha kembali menyucikannya? Lagipula, kenapa sang nenek membujuk Azka dengan hal demikian? Tentu saja Azka akan tergiur. Sekarang, Amitha merasa ia tak memiliki dukungan.
***
"Kamu itu loh, sama orang tua yang sopan dikit. Walaupun ndak suka, kamu harus bisa hargain tamu mamimu. Kamu nggak kasihan kalo mami dapet malu gara-gara kamu?"
Belum cukup sang mami memberinya petuah kemarin, sekarang neneknya ikut-ikutan. Menyudutkan Amitha yang dianggap tidak sopan. Padahal, sekali lagi Amitha bertanya ... di mana letak tidak sopannya? Yang Amitha rasa, cewek itu hanya menunjukkan apa yang sebenarnya. Tidak mengada-ada dengan bersikap hangat pada tamu maminya.
"Kenapa, sih, Nek. Ami cuma diem doang dari tadi. Nggak sopannya kenapa?"
"Ya justru itu, loh," seloroh Diah. "Kamu tanya, kek. Ajak ngobrol. Buat si om nyaman karena merasa diterima di keluarga ini. Kalo sikapmu begitu terus, kami juga jadi nggak enak sama beliau."
Amitha membuang napas perlahan. Berbincang dengan orang dewasa selalu membuatnya lelah. "Memangnya siapa yang mau terima dia, Nek? Ami, 'kan, sudah bilang. Ami nggak mau punya papi tiri. Maminya aja yang nggak dengerin apa kata Ami."
Mendapat jawaban demikian, emosi Diah kian terpancing. Wanita itu menggeleng kepala berulang seraya berdecak tak habis pikir dengan tingkah cucunya. "Kenapa, sih? Kamu nggak kasihan sama mamimu? Dia butuh teman hidup. Papi aja kamu kasih izin buat nikah lagi. Masa mami kamu nggak?"
"Mi, udah." Eva melerai. Ia tak ingin Amitha dan ibunya berselisih. Eva rasa, masalah Amitha biarlah ia yang menghadapinya. Diah tak perlu terlalu ikut campur dan membuat Amitha seolah tersudut dengan desakkan Diah agar ia memberi izin Eva untuk menikah lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAKERIN
Novela JuvenilAmitha muak dengan tingkah mami yang serupa ABG baru kasmaran. Demi apapun ia tak akan memberi izin mami untuk menikah lagi. Bagai kesempatan emas, ia mendapat instansi-sebagai tempat pelaksanaan prakerin-di luar kota. Setidaknya, ia bisa tenang kar...